Jumat 01 Nov 2024 13:57 WIB

Ketika Masyarakat Cina Menanggapi Pemilu Amerika Serikat

Minat terhadap kandidat tampak lebih redup ketimbang pemilu sebelumnya.

Rep: Zahra Yumna Nasriyani/ Red: Fernan Rahadi
Orang-orang menyaksikan debat presiden antara calon presiden dari Partai Republik, mantan Presiden Donald Trump, dan calon presiden dari Partai Demokrat, Wakil Presiden Kamala Harris, di acara nonton bareng Berkeley Art Museum and Pacific Film Archive di Berkeley, California, Selasa, 10 September 2024.
Foto: Gabrielle Lurie/San Francisco Chronicle via A
Orang-orang menyaksikan debat presiden antara calon presiden dari Partai Republik, mantan Presiden Donald Trump, dan calon presiden dari Partai Demokrat, Wakil Presiden Kamala Harris, di acara nonton bareng Berkeley Art Museum and Pacific Film Archive di Berkeley, California, Selasa, 10 September 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) akan digelar pada 5 November 2024 mendatang. Hasil pemilihan tersebut bisa memiliki dampak luas pada hubungan antara dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia, AS dan Cina.

Namun di Cina, di mana berita pemilu disaring melalui media milik negara dan media sosial sangat ketat sensornya, fokusnya lebih kepada tontonan daripada substansi. Bahkan terdapat anggapan bahwa siapa pun yang menang, ketegangan dalam hubungan AS-Cina akan tetap ada.

"Bagi kami rakyat Cina biasa, siapa pun yang menjadi presiden AS, baik itu kandidat A atau kandidat B, semuanya sama saja," kata Li Shuo, penduduk Beijing, kepada CNN menjelang pembukaan pemungutan suara.

Salah satu alasannya ditengarai karena adanya konsensus di Cina dari pembuat kebijakan hingga warga biasa, bahwa keputusan sudah bulat untuk pemerintahan AS yang ingin membatasi kebangkitan Cina di panggung global, terlepas dari apakah Wakil Presiden Kamala Harris atau mantan presiden Donald Trump yang menang.

Pada masa jabatan terakhir Trump, Partai Republik memberlakukan tarif pada barang-barang Cina senilai ratusan miliar, meluncurkan kampanye melawan raksasa telekomunikasi China Huawei, serta menggunakan bahasa rasis untuk menggambarkan bahwa virus penyebab Covid-19 pertama kali diidentifikasi di Cina.

Empat tahun terakhir di bawah Presiden Joe Biden telah melihat perubahan nada dan upaya untuk menstabilkan komunikasi antara kedua negara. Namun kekhawatiran AS tentang ancaman Cina terhadap keamanan nasionalnya terlihat semakin dalam, dengan Biden menargetkan industri teknologi Cina dengan kontrol investasi dan ekspor, serta tarif, serta tampak mengesampingkan kebijakan AS yang sudah lama ada dalam bagaimana dia menyuarakan dukungan untuk Taiwan.

Sementara itu, masyarakat di Cina telah melihat prospek ekonomi mereka meredup karena negara tersebut kesulitan untuk pulih sepenuhnya setelah kontrol pandemi yang ketat di tengah perlambatan yang lebih luas termasuk krisis pasar properti.

Jadi, meskipun kampanye presiden masih bermain di liputan berita harian Cina dan diskusi daring, minat terhadap kandidat dan kebijakan mereka tampak lebih redup dibandingkan dengan pemilu AS sebelumnya.

"(Itu) tidak masalah siapa yang (menang)," tulis satu pengguna media sosial dalam komentar populer di platform mirip X China, Weibo. "Pembatasan mereka terhadap Cina tidak akan mereda," tulisnya menambahkan.

Saat kampanye berlangsung selama beberapa bulan terakhir, media pemerintah Beijing telah memfokuskan pada perselisihan sosial dan polarisasi di AS.

Dalam beberapa hari terakhir, unggahan teratas di bawah tagar "pemilu AS" di Weibo adalah tentang kekhawatiran Amerika akan potensi kekerasan pasca-pemilu. Unggahan tersebut, oleh bagian dari penyiar negara CCTV, mengutip data survei dari media AS.

Sebuah kartun baru-baru ini dari surat kabar milik negara China Daily yang beredar di media dalam negeri menunjukkan Patung Liberty dihancurkan dalam rahang naga berlabel "kekerasan politik."

"Semua lapisan masyarakat di Amerika Serikat sangat gugup, dan opini publik dalam kekacauan," tulis reporter dari kantor berita negara Xinhua dalam berita terbaru, yang juga mencatat bahwa karena polarisasi politik dan perpecahan dalam opini publik meningkat dalam pemilu AS tahun ini, kekerasan politik juga meningkat.

Sebuah majalah yang berafiliasi dengan Xinhua secara bergantian menggambarkan pemilu sebagai "kurang harapan," yang pada akhirnya diputuskan oleh "kekuatan tak terlihat" kekuasaan, seperti Wall Street.

Beberapa blogger nasionalis telah mempublikasikan video dan unggahan yang terkadang dengan senang hati melebih-lebihkan apa yang mereka gambarkan sebagai potensi "perang saudara" Amerika pasca-pemilu, retorika yang bergema dalam obrolan di platform media sosial Weibo, yang sangat disensor dan sebagian besar didominasi oleh suara-suara nasionalis.

Sambil mengambil kekhawatiran nyata yang dilaporkan oleh media Amerika dan internasional dalam siklus pemilu AS yang kontroversial dan penuh kekerasan, liputan dan percakapan tampaknya ditujukan untuk menunjukkan keunggulan sistem politik Cina sendiri. Di sana, Partai Komunis Cina yang berkuasa memiliki cengkeraman kuat pada kekuasaan dan wacana politik.

Namun terlepas dari liputan tersebut, banyak orang di Cina juga dengan tajam mengamati proses demokratis dan menunjukkan kontradiksi dengan sistem mereka sendiri.

"Tidak ada sistem yang sempurna, tapi setidaknya mereka mengizinkan orang untuk mempertanyakan mereka," kata satu pengguna media sosial di Weibo.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement