REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kata taat merupakan serapan dari bahasa Arab yang berarti 'menemani' atau 'mengikuti.' Dalam perspektif keagamaan, hakikat taat ialah sikap dan tindakan yang tulus untuk mematuhi perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.
Kebalikan dari taat adalah maksiat. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Tidak ada keharusan menaati perintah jika ia bermaksiat kepada Allah. Namun, keharusan taat itu berlaku dalam rangka berbuat kebaikan" (HR Bukhari dan Muslim).
Sayyid Quthb dalam Fii Zhilal al-Qur'an menjelaskan, energi taat bersumber dari nilai-nilai tauhid. Karena itu, bagi seorang Muslim ketaatan haruslah berdasarkan rujukan Alquran. Yakni, taat kepada Allah, Rasulullah SAW, dan pemimpin atau ulil amri (QS an-Nisa'[4]: 58).
Beragama Islam tanpa dibarengi ketaatan adalah sia-sia. Said Hawwa berpendapat, tidak ada yang lebih penting dalam Islam selain tiga hal, yakni takwa, ibadah, dan taat.
Dua hal pertama ibarat dua sisi mata uang. Adapun taat merupakan kunci terlaksananya dua hal tersebut.
Rahmat yang dibawa Islam akan terasa bagi semua jika setiap Muslim berkomitmen untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Realisasi taat dapat diwujudkan dengan cara berjamaah, bersatu--bukan bercerai-berai apalagi saling berselisih.
"Tidak ada Islam tanpa berjamaah, sementara tidak ada jamaah tanpa ada kepemimpinan, dan tidak ada kepimpinan tanpa ketaatan" (HR ad-Darimi).