REPUBLIKA.CO.ID, ALEXANDRIA -- Penelitian terbaru yang dilakukan para akademisi dari Universitas Al-Azhar dan Universitas Kairo, bersama kementerian lingkungan Mesir, mengungkapkan dampak signifikan dari peralihan penggunaan bahan bakar di industri semen. Menggunakan data dari sistem pemantauan emisi pabrik di Alexandria, studi ini mensimulasikan penyebaran polusi debu dan gas beracun antara tahun 2014 hingga 2020.
Hasilnya, peralihan dari gas alam ke batu bara sebagai sumber energi utama telah menyebabkan peningkatan emisi total partikel tersuspensi (TSP), nitrogen dioksida, dan sulfur dioksida, meskipun konsentrasi tersebut masih dalam batas legal. Industri semen Mesir mengimpor batu bara dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) setelah kekurangan gas alam yang sebelumnya digunakan di industri itu.
Menurut data dari Global Carbon Budget, emisi gas rumah kaca Mesir dari pembakaran bahan bakar fosil dalam satu dekade terakhir meningkat lebih dari 20 persen, mencapai 263 juta ton metrik karbon dioksida pada tahun 2022. Sebagian besar emisi ini berasal dari gas dan minyak, sementara batu bara menyumbang 3,4 persen dari total emisi, yaitu sekitar 9 juta ton.
Pemerintah Mesir berkomitmen untuk menghapus penggunaan batu bara dan mendorong perusahaan untuk beralih ke sumber energi terbarukan. Namun, juru bicara kementerian lingkungan Mesir Heba Maatouk mengungkapkan pasokan bahan bakar alternatif, seperti bahan bakar yang berasal dari limbah (RDF), belum mencukupi.
"Jika perusahaan tidak dapat mendapatkan RDF, mereka tidak akan berhenti beroperasi dan akan menggunakan batu bara untuk menghindari kerugian," ujarnya, Ahad (25/11/2024).
Sementara itu, di lingkungan Wadi al-Qamar, Mesir, penduduk setempat terlibat dalam pertempuran hukum yang berkepanjangan dengan pabrik semen Alexandria, APCC. Mereka mengajukan beberapa gugatan untuk membatalkan amandemen peraturan lingkungan yang memungkinkan penggunaan batu bara oleh industri berat.
Pengacara dari Inisiatif Hak Pribadi Mesir (EIPR), Hoda Nasrallah menyatakan pada tahun 2016, komunitas tersebut meminta pengadilan untuk mempertimbangkan dampak kesehatan dan lingkungan dari penggunaan batu bara.
Pihak APCC tidak memberikan komentar terkait gugatan tersebut, namun Titan Cement, yang mengoperasikan pabrik, mengonfirmasi mereka mendapatkan batu bara dari AS dan berinvestasi sebesar 40 juta euro dalam pengendalian pencemaran. Mereka juga berencana untuk mengurangi penggunaan batu bara seiring dengan meningkatnya penggunaan alternatif.
Nasrallah menambahkan, pengacara yang mewakili warga yakin komite ahli yang ditunjuk pengadilan tidak independen, dan mereka telah membawa kasus ini ke pengadilan administratif tertinggi di Kairo.
Putusan diharapkan keluar pada Desember, sementara penduduk semakin frustrais dengan polusi. "Pabrik ini seharusnya tidak ada di sini. Kami seharusnya tetap tinggal, dan mereka seharusnya pergi," kata salah satu warga Wadi al-Qamar, Hisham al-Akary.
Dengan tantangan yang dihadapi dalam dekarbonisasi industri semen, terutama di negara-negara berkembang seperti Mesir, dukungan internasional menjadi kunci untuk mencapai target energi terbarukan yang ditetapkan pemerintah, yaitu 42 persen pada tahun 2030.