Kamis 22 May 2025 20:02 WIB

Serba-Serbi Madinah, Sejarah dan Watak Penduduknya

Madinah al-Munawwarah memiliki banyak keutamaan.

Tenda di Masjid Nabawi  Kota Madinah
Foto: Republika/Amin Madani
Tenda di Masjid Nabawi Kota Madinah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Allah SWT menyebut Madinah al-Munawwarah dan penduduk kota ini beberapa kali di dalam Alquran. Di antaranya adalah, surah at-Taubah ayat 101 dan 120; surah al-Ahzab dalam ayat ke-60; surah al-Hasyr ayat kesembilan; dan surah al-Munafiqun ayat kedelapan.

Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah al-Munawwarah pada hari Jumat tanggal 12 Rabiul Awal atau 27 September 622 M. Pada hari kedatangan Rasulullah SAW, kegembiraan terpancar dari wajah-wajah warga kota setempat, mulai dari kalangan pembesarnya hingga para budak.

Baca Juga

Seorang sahabat, Anas bin Malik menggambarkan keadaan yang dirasakannya pada saat momen penting tersebut, "Pada hari ketika Rasulullah SAW memasuki kota Madinah, segala sesuatunya bercahaya, sedangkan pada hari ketika beliau diwafatkan, segala sesuatunya terasa gelap."

Kota yang ramah

Keramahan masyarakat Madinah dikenal di seantero dunia Islam. Inilah salah satu keistimewaan yang dikaruniakan Allah kepada mereka.

Hati penduduk Madinah dibuka oleh Allah SWT untuk segera memeluk risalah Nabi SAW ketika mendengar keagungan Islam. Bahkan, itu semua dilakukan dengan pengorbanan darah, pikiran, harta, dan tenaga.

Mengapa penduduk Madinah punya karakteristik terbuka, sementara misalnya orang-orang Makkah kaku dan keras hati?

Muhammad Musthofa Mujahid punya penjelasan tentang hal ini. Dalam bukunya, Abqariatu ar-Rasul fi Iktisab al-'Uqul ('Rasulullah Sang Jenius'), ia mengungkapkan faktor utama pembentuk karakter penduduk Madinah, yakni profesi mereka sebagai petani.

Masyarakat petani terbiasa hidup dalam suasana tolong-menolong, baik dalam tingkat keluarga ataupun masyarakat. Kegiatan pertanian menuntut kerja sama antarindividu, terutama pada musim tanam dan panen.

Pada masa penantian panen pun, menurut Musthofa Mujahid, mereka mempunyai aktivitas lain, seperti menjaga tanaman, memerah susu, atau bersosialisasi dengan sesama petani.

Kondisi seperti ini membentuk karakter masyarakat Madinah yang terbuka, baik untuk berdialog ataupun kerja sama.

Keadaan sebaliknya terjadi pada masyarakat Makkah. Penduduk kota kelahiran Nabi SAW itu umumnya berprofesi sebagai pedagang.

Cara berpikir pedagang lebih bersifat transaksional. Berpedoman pada kalkulasi untung-rugi.

Oleh karena itu, mereka sulit diajak berdialog. Orang sehebat Umar bin Khattab, misalnya, pun terheran-heran dengan keluwesan penduduk Madinah. Namun, ia segera menyadari bahwa watak mereka terbentuk karena pola kerja keseharian yang digeluti.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement