REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rizal Taufikurahman, menilai outlook pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2026 dalam asumsi makro pemerintah kurang realistis. Menurutnya, target pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5,2–5,8 persen pada 2026 dinilai terlalu tinggi.
“Asumsi dasar makroekonomi 2026, meski masih perencanaan, tapi kita bisa melihat ini tinggi sekali di 5,2–5,8 persen, tengah-tengahnya 5,4 persen,” kata Rizal dalam Diskusi Publik Indef bertajuk ‘Penerimaan Loyo, Utang Kian Jumbo’ yang digelar secara virtual, Rabu (9/7/2025).
Diketahui, dalam asumsi makroekonomi 2026, pemerintah membuat outlook pada pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, suku bunga, hingga harga minyak mentah. Target pertumbuhan ekonomi pada 2026 yakni 5,2–5,8 persen (APBN 2025: 5,2 persen), inflasi 1,5–3,5 persen (APBN 2025: 2,5 persen), dan nilai tukar Rp 16.500–Rp 16.900 per dolar AS (APBN 2025: Rp 16.000 per dolar AS).
Kemudian, outlook suku bunga SBN 10 tahun pada 2026 yakni 6,6–7,2 persen (APBN 2025: 7,0 persen), harga minyak mentah Indonesia 60–80 dolar AS per barel (APBN 2025: 82 dolar AS per barel), dan lifting minyak mentah 600–605 ribu barel per hari (APBN 2025: 605 ribu barel per hari), serta lifting gas bumi 953–1.017 ribu barel (APBN 2025: 1.005 ribu barel).
“Yang ingin kita konsen adalah pertumbuhan ekonomi. Bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi yang sangat besar? Ini cukup tinggi dengan situasi fiskal yang sangat ketat,” tegasnya.
Rizal mengungkapkan, penyerapan fiskal Indonesia bergerak lamban sepanjang semester I 2025. Sementara itu, utang terus meningkat di tengah fiskal yang diperketat. Akibatnya, penerimaan negara pun menurun dan sangat lambat, padahal APBN merupakan stimulus.
“Struktur APBN 2025 menunjukkan defisit anggaran sebesar Rp 616,2 triliun, atau 2,53 persen terhadap PDB, dengan outlook yang memburuk menjadi Rp 662 triliun, 2,78 persen dari PDB,” ujarnya.
Sementara itu, belanja negara tetap tinggi, yakni Rp 3.621,3 triliun, terutama belanja kementerian/lembaga (K/L) yang melebihi pagu (109,9 persen). Sementara keseimbangan primer kembali negatif (Rp 63,3 triliun), yang mengindikasikan kebutuhan pembiayaan utang, bahkan untuk membayar bunga utang.
“Kondisi ini menegaskan bahwa meskipun defisit masih dalam batas aman, kualitas belanja dan efektivitas pendapatan harus diperbaiki agar tidak memperbesar beban fiskal jangka menengah,” ujar Rizal.
View this post on Instagram