Selasa 12 Aug 2025 11:20 WIB

AI atau Otak Sendiri: Siapa yang Lebih Jago Bikin Kita Melek Literasi?

Kecanduan pada jawaban instan dapat membuat kita malas berpikir sendiri.

Masa depan literasi sangat bergantung pada siapa yang memegang kendali:otakmu atau algoritma.
Foto: UNM
Masa depan literasi sangat bergantung pada siapa yang memegang kendali:otakmu atau algoritma.

Oleh: Ricky Sediawan, Pustakawan Universitas Nusa Mandiri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah derasnya arus revolusi digital, kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) kian hari makin menyusup dalam kehidupan kita termasuk dalam cara kita belajar, bekerja, bahkan berpikir.

Ia hadir di layar ponsel, perangkat lunak pembelajaran, hingga mesin pencari yang kita gunakan setiap hari. Kemudahan yang ditawarkan begitu menggoda. Tapi pertanyaan penting muncul: apakah dengan kehadiran AI, kita benar-benar menjadi lebih pintar dan melek literasi?

Sebagai pustakawan di Universitas Nusa Mandiri, yang dikenal sebagai Kampus Digital Bisnis, saya menyaksikan langsung bagaimana mahasiswa kini mengakses informasi dalam hitungan detik.

Mereka terbiasa bertanya kepada mesin pencari atau menggunakan chatbot seperti ChatGPT untuk menjawab rasa ingin tahu mereka. AI menjadi teman belajar yang setia, membantu merangkum buku, menyederhanakan konsep, bahkan menerjemahkan dokumen asing dalam waktu singkat.

Namun, dalam gelombang kemudahan ini, kita juga menghadapi tantangan serius. Literasi sejati bukan sekadar kemampuan mencari informasi, tapi bagaimana kita mengevaluasi, memahami, dan mengolah informasi tersebut menjadi pengetahuan yang bermanfaat. Di sinilah peran otak manusia tidak bisa digantikan.

AI memang unggul dalam kecepatan dan efisiensi. Ia mampu menelusuri jutaan data dalam sekejap, menyajikan informasi dalam bahasa yang mudah dicerna, dan bahkan menyesuaikan materi belajar sesuai kebutuhan individu.

Namun AI tidak memiliki intuisi, emosi, atau pemahaman budaya dan nilai. AI tidak bisa merasakan kegetiran sejarah dari sebuah puisi, atau menangkap makna tersirat dalam esai penuh metafora. Hal-hal ini hanya bisa dipahami lewat pengalaman, empati, dan pemikiran kritis yang semuanya berasal dari otak manusia.

Kita perlu memahami AI bukanlah musuh. Ia adalah alat, partner belajar yang luar biasa jika digunakan dengan bijak. Namun jika kita sepenuhnya bergantung padanya, kemampuan berpikir analitis bisa tumpul.

Kecanduan pada jawaban instan dapat membuat kita malas berpikir sendiri. Padahal dalam dunia literasi, justru proses berpikir, menggali, dan menganalisis itulah yang membentuk kedewasaan intelektual seseorang.

Saya sering mengingatkan mahasiswa: gunakan AI untuk mempercepat, bukan menggantikan. Gunakan AI untuk memperluas referensi, bukan memutus nalar. Sehebat apapun teknologi, literasi tetap tumbuh dari manusia yang aktif membaca, bertanya, berdiskusi, dan membangun opini dari berbagai sudut pandang.

UNM terus berupaya mengedepankan pengembangan literasi digital yang sehat dan kritis. Selain menghadirkan layanan perpustakaan digital yang lengkap dan interaktif, kampus ini juga mendukung program unggulan Internship Experience Program (IEP) atau skema 3+1, yang memberi mahasiswa pengalaman nyata di dunia industri setelah tiga tahun kuliah.

Melalui program ini, literasi mahasiswa diuji secara langsung di lapangan tidak hanya secara akademik, tetapi juga dalam menghadapi tantangan komunikasi, etika digital, dan pemecahan masalah berbasis data.

Maka saya kembali pada pertanyaan awal: siapa yang lebih jago membentuk literasi kita, AI atau otak sendiri? Jawabannya tentu saja: keduanya. Tapi hanya jika kita tahu kapan harus mengandalkan mesin, dan kapan harus mempercayai nalar manusia.

Jadi, apakah kamu masih berpikir sendiri hari ini? Atau mulai menyerahkan semuanya pada mesin? Ingat, masa depan literasimu sangat bergantung pada siapa yang memegang kendali: otakmu atau algoritma.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.

(QS. Ali 'Imran ayat 159)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement