Ahad 28 Sep 2025 14:15 WIB

Negara di Dunia Serahkan Target Iklim Baru, Bagaimana Indonesia?

Hanya beberapa pekan jelang KTT Iklim di Brasil, negara-negara di dunia mulai menyerahkan target baru pengurangan gas rumah kaca. Seberapa ambisius rencana dekarbonisasi negara penghasil terbesar emisi?

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Dita Alangkara/AP Photo/picture alliance

"Taruhannya tak bisa lebih tinggi lagi,” kata seorang pejabat senior PBB menyampaikan kepada wartawan menjelang KTT Iklim di New York.

Musim panas ini, bencana datang silih berganti: banjir di utara, kekeringan di selatan, dan gelombang panas yang kian panjang. Bencana iklim kini "meneror” di tiap benua, imbuh pejabat PBB tersebut.

Para ilmuwan meyakini, pemanasan global yang disebabkan manusia mendorong perubahan iklim di Bumi, dan kenaikan suhu akan membawa dampak yang lebih buruk di masa depan.

Untuk menanggulangi krisis iklim ini, para pemimpin dunia sepakat membatasi kenaikan suhu rata‑rata global di bawah 2 derajat Celsius, jika ambang batas 1,5 derajat tetap terlampaui.

Kesepakatan itu dirumuskan dalam Perjanjian Paris 2015. Di dalamnya, negara-negara berjanji menepati kontribusi nasional pengurangan emisi sesuai skema NDC yang diperbaharui setiap lima tahun.

Tenggat untuk NDC 2035 telah lewat sejak Februari lalu, namun hanya segelintir negara yang patuh. Tekanan kini meningkat agar negara-negara PBB menyodorkan komitmen mereka minggu ini.

Pemain besar tertinggal

Dengan dua bulan menjelang COP30 di Brasil, hanya 47 negara yang sudah menetapkan target iklim baru, mewakili tak sampai seperempat emisi global.

Di antara yang belum menyerahkan target nasionalnya adalah Uni Eropa dan India. Beberapa negara yang sudah memajukan target domestik, seperti Australia dan Jepang, dikritik karena kurang ambisius dalam berkontribusi sesuai porsinya.

Lebih dari 100 negara tercatat mendaftar untuk berbicara di KTT Iklim PBB, yang digelar bersisian dengan Sidang Umum PBB di New York.

Uni Eropa: Pionir iklim yang tersandung

Uni Eropa, yang kerap memosisikan diri sebagai pemimpin moral iklim, tersendat oleh friksi internal, krisis energi, dan naiknya politik kanan. Alih-alih target konkret, blok 27 negara itu hanya mengeluarkan "pernyataan niat," untuk menyerahkan NDC sebelum akhir September.

Pernyataan itu mengandung komitmen untuk menyodorkan target iklim sebelum konferensi di bulan November. UE harus menentukan tingkat pengurangan gas rumah kaca untuk tenggat tahun 2035, antara 66,25% dan 72,5% dibandingkan level 1990.

Stientje van Veldhoven dari World Resources Institute Eropa menyebut bahwa meski pernyataan ini "menunjukkan ruang untuk kemajuan,” ia bisa "mengirim pesan membingungkan, mengikis kepercayaan investor, serta melemahkan lapangan kerja, keamanan energi, dan daya saing.”

Rencana pengurangan emisi hingga 90% pada 2040 tengah dibahas sejak lama dalam UE, namun belum disepakati bersama semua negara anggota. Para ahli menyebut bahwa target 2035 sangat menentukan dalam pencapaian tujuan jangka panjang itu.

Cina: Raksasa energi hijau

Sebagai penghasil emisi terbesar dunia, Cina bertanggung jawab atas sekitar sepertiga emisi global. Tekanan besar menggelayut agar negara itu menetapkan target pengurangan domestik yang lebih ambisius.

Namun komitmen pemotongan 7–10% dari puncak emisi yang diajukan Beijing dianggap "kurang menggugah sekaligus transformasional,” menurut Andreas Sieber dari 350.org.

Dia menilai komitmen itu belum sejalan "dengan apa yang dibutuhkan dunia," meski menilai perekonomian Cina berkembang ke wilayah, di mana "teknologi bersih akan mendiktekan kepemimpinan ekonomi."

Li Shuo dari China Climate Hub menyebutkan lemahnya target NDC Cina kemungkinan disebabkan kegagalan UE menyerahkan targetnya tepat waktu, dan keluarnya AS dari Perjanjian Paris.

"Saya kira, faktor-faktor tersebut menyulitkan penetapan ambisi yang lebih tinggi."

Target baru Cina menggunakan puncak emisinya sebagai dasar. Besar kemungkinan bahwa Cina sudah mencapai atau akan segera mencapai puncak emisi dalam waktu dekat. Presiden Xi Jinping mengumumkan target itu melalui pidato video dalam pertemuan iklim.

Para ahli menduga Cina mungkin memberi target rendah, tetapi mereka memandang komitmen tersebut nyata dan bisa dilampaui. "Dalam kasus Cina, ketika mereka menetapkan target, itu adalah sesuatu yang sebenarnya mereka komitmen untuk penuhi,” kata Sofia Gonzales-Zuniga dari Climate Analytics.

Cina juga menjadi investor terbesar dalam energi bersih: pada 2024 saja investasi diperkirakan mencapai US$ 625 miliar menurut lembaga riset Ember.

Brasil: Dua wajah tuan rumah

Sebagai tuan rumah COP30, Brasil berada di bawah sorotan tajam terkait target domestiknya. Pengumuman rencana pengurangan emisi antara 59–67% dari level 2005 dikritik para ahli kareena menciptakan ketidakpastian terkait rentang target yang terlalu lebar.

Kritik juga muncul karena rencana ekspansi eksplorasi minyak, khususnya di sekitar mulut Sungai Amazon. Namun strategi nasional Brasil baru-baru ini merinci pemotongan di sektor pertanian dan deforestasi—yang menyumbang tiga perempat emisi negara itu—memberi sedikit kejelasan.

Inggris: Pertobatan pencetus Revolusi Industri

Inggris adalah negara pertama yang memicu Revolusi Industri—periode ketika bahan bakar fosil mulai digunakan secara masif. Sebagai salah satu negara dengan emisi kumulatif tinggi (setelah AS, UE, dan Cina), banyak yang menilai Inggris memiliki tanggung jawab moral untuk segera menurunkan emisinya.

Pemerintah Inggris merespon dengan menyerahkan NDC tepat waktu, dan berjanji mengurangi emisinya sebesar 81% dibanding level 1990—angka yang sejatinya sejalan dengan target 1,5 derajat. Namun tantangan terbesar adalah menjembatani janji dengan kebijakan nyata, agar target itu tidak sekadar slogan.

Lebih jauh, menurut situs Carbon Action Tracker, tanggung jawab Inggris tidak berhenti pada pemotongan domestik. Mereka juga harus menyediakan bantuan iklim kepada negara berkembang untuk mengurangi emisi mereka agar kontribusi Inggris benar-benar adil.

Indonesia: Menjauhi godaan batu bara

Sebagai salah satu emiten besar dari Global South, target iklim Indonesia dipandang menarik. Bergantung pada bahan bakar fosil dan deforestasi, Indonesia menyumbang lebih dari 3% emisi global—angka yang bisa ditekan drastis dengan kebijakan tepat.

Presiden Prabowo Subianto berjanji akan menghentikan penggunaan pembangkit listrik berbahan fosil dan batu bara dalam 15 tahun ke depan, serta menargetkan net zero pada 2050—lebih cepat dari sebelumnya.

Dalam pertemuan iklim, Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir menegaskan komitmen tersebut, sekaligus menyebut bahwa pemerintah akan mempercepat realisasi energi terbarukan dan memanfaatkan hutan serta mangrove sebagai solusi alami.

Tapi dia belum menawarkan target konkret dalam target dekarbonisasi di dalam negeri.

Amerika Serikat: Isolasi iklim

Presiden AS Joe Biden pernah menyerahkan target iklim—mengurangi emisi karbon 61–66% pada 2035 dibanding level 2005. Namun Donald Trump kemudian menarik AS dari Perjanjian Paris, membatalkan komitmen tersebut.

Meskipun demikian, laporan menyebut AS masih berada dalam lintasan pengurangan emisi 26–35% pada 2035.

Sofia Gonzales-Zuniga menilai bahwa sementara perjanjian Paris begitu penting, pelebaran antara janji dan realitas masih membayangi. "Kenaikan suhu yang diproyeksikan memang turun dibanding skenario tanpa Paris, tapi tetap belum sejalan dengan tujuan 1,5 derajat; celah emisi masih besar.”

Artikel ini diperbarui terakhir 25 September 2025 untuk memasukkan pengumuman dari Indonesia dan Cina

Diadaptasi oleh Rizki Nugraha

Editor Agus Setiawan

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement