REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Pemblokiran 22 situs online diduga radikal yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika dinilai mempertegas perlunya dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pasalnya, dalam UU tersebut dianggap tidak mengatur secara jelas mengenai wewenang pemblokiran atau filter terhadap situs-situs internet.
"Ini momentum untuk melakukan revisi menyeluruh dengan UU ITE ini," kata Mutjaba Hamdi dari aliansi masyarakat sipil Sahabat untuk Informasi dan Komunikasi yang Adil (Sika) dalam pernyataan sikap menuntut perombakan regulasi informasi dan komunikasi di Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (31/3).
Menurutnya, wewenang pemblokiran yang dilakukan Kemenkominfo hanya didasarkan pada Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang penanganan situs internet bermuatan negatif yang dinilai sebagian pihak tidak memiliki dasar yang cukup. Apalagi menurutnya, Permen tersebut masih dalam proses pengujian di Mahkamah Agung.
Sementara dalam UU ITE sendiri tidak memberi mandat kepada Kemenkominfo untuk melakukan pemblokiran terhadap situs tertentu. "Kemenkominfo ini kan tidak seperti KPI yang punya Undang-undang untuk mengawasi isi siaran, nah ini beda, UU ITE ini nggak ada mandat apapun ke Kominfo untuk melakukan blokir atau filtering, jadi jangan sewenang-wenang," ujarnya.
Oleh karenanya, menurut Mujtaba hal itu pula menjadi desakan untuk merevisi UU yang telah memakan banyak korban tersebut. Termasuk usulannya adanya Badan Independen diluar Kemenkominfo yang bertugas untuk mengawasi jenis konten.
Pasalnya, pemblokiran yang terjadi saat ini dilakukan secara sepihak dan kurang transparan ke publik. Ini pula yang menjadi pertanyaan sebagian pihak mengenai alasan jelas pemblokiran situs-situs tersebut selain diduga bernuansa radikalisme.
"Dewan ini nanti yang membahas apakah konten ini melanggar prinsip konstitusi, misalnya kepercayaan, hak hidup orang lain yang tentunya harus akuntabel, jadi publik bisa tahu apa pertimbangannya dan seperti apa pelanggarannya, nggak seperti yang sekarang ini kita hanya tau itu bernuansa radikal, tapi rapatnya seperti apa, siapa yang dilibatkan, kita nggak tau itu," katanya.
Selain itu, ia menilai selama ini UU ITE juga banyak membuat korban dalam pelaksanaannya. Pasalnya, ada beberapa pasal dalam UU tersebut yang seharusnya sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kembali diatur dalam pasal tersebut. "Seharusnya tidak mengatur ketentuan pidana konvensional seperti pidana kesusilaan, penghinaan, dan pencemaran nama baik, ancaman kekerasan harus dikembalikan ke KUHP," ujarnya.
Menurutnya, UU ITE seharusnya lebih menekankan aturan kepada kejahatan siber yang justru implementasinya masih lemah. Beberapa kasus seperti kejahatan online yakni penipuan dan kejahatan komputer justru tidak ditindaklanjuti secara tuntas.