REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekerasan secara dalam jaringan (daring) Internet, terutama melalui media sosial bisa saja terjadi pada semua orang, namun menurut pendiri PurpleCode, Dyhta Caturani, perempuan lebih rentan mengalami kekerasan seksual.
"Laki-laki yang diserang ide atau statement di mana kita bisa berdebat dengan argumentasi yang sama masuk akal. Sementara perempuan sangat berbeda, yang diserang personal, tubuh," katanya dalam kampanye #PositionOfStrength, di Jakarta, belum lama ini.
Sayangnya, Dyhta mengatakan, hingga kini kekerasan di Internet terhadap perempuan memiliki klasifikasi dan kategorisasi.
Selain itu, Dyhta mengungkapkan bahwa istilah daring (online) dalam kekerasan perempuan sering tidak diperhatikan. Pasalnya, banyak orang lebih memprioritaskan kasus langsung (offline).
Namun, menurut Dyhta, kekerasan tersebut tidak sekedar kekerasan online atau kekerasan dunia maya atau siber (cyber), melainkan merupakan perpanjangan dari kekerasan yang sudah ada.
"Banyak yang berpendapat 'ngapain ngurusin online? Offline juga banyak'. Tapi, keduanya punya akar yang sama. Karena, kehidupan online merupakan representasi kehidupan mereka di offline. Ketika berjuang di offline harus dibawa ke online juga," katanya.
Jenis-jenis kekerasan di ranah online, Dyhta menjelaskan, antara lain Doxing (mempublikasikan data personal orang lain), Cyber Stalking (akan mencapai tahap mengerikan ketika mengetahui aktivitas offline). dan Revenge Porn (Penyebaran foto/video dengan tujuan balas dendam dibarengi intimidasi/ pemerasan).
Tujuan kekerasan tersebut, ditambahkannya, antara lain pemerasaan, pembungkaman dan eksploitasi seksual yang berdampak menimbulkan rasa takut yang dapat berpotensi pada kekerasan fisik secara offline.