REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suhu permukaan laut mencapai rekor baru pada 2019. Dengan mencapai 228 Zettajoules (ZJ), tingkatnya adalah yang terpanas dalam catatan sejarah.
Angka tersebut di atas rata-rata suhu 1981 hingga 2010 dan 25 ZJ di atas 2018. Lantas apakah dampak yang ditimbulkannya?
"Dampaknya adalah kenaikan permukaan air laut karena salah satunya es mencair," ujar dosen ilmu lingkungan Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa, ketika dihubungi dari Jakarta pada Rabu.
Berdasarkan sejarah, antara tiga sampai lima juta tahun lalu, suhu air laut kurang lebih naik antara dua sampai tiga derajat Celcius. Mahwan mengatakan, ketika itu terjadi, kenaikan air laut mencapai mencapai 10 sampai 20 meter.
Kesimpulan memanasnya suhu lautan itu didapat dari hasil analisis yang dipublikasikan di jurnal ilmiah Advances In Atmospheric Sciences. Peneliti menggunakan data dari berbagai sumber untuk menghitung suhu laut, terutama yang di kedalaman 0 hingga 2.000 meter. Fakta tersebut serius karena laut merupakan ukuran penting untuk melihat dampak perubahan iklim.
"Laut menyerap 90 persen lebih panas yang terperangkap akibat gas rumah kaca yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, kebakaran hutan, dan aktivitas manusia lainnya," demikian analisis yang dilakukan oleh Profesor John Abraham dari University of St Thomas, Minnesota, Amerika Serikat bersama rekan-rekannya.
Naiknya permukaan air laut tentu akan berdampak banyak kepada negara-negara berkembang dan kepulauan seperti Indonesia, menurut Mahawan sebagai pakar iklim. Lima tahun terakhir, suhu laut mencapai temperatur terhangat dan itu membuktikan secara nyata perubahan iklim sudah terjadi.
Akibat perubahan iklim, menurut Mahwan, di Indonesia bisa terasa nyata dengan terjadi tiga bencana hidrometeorologi, yaitu angin puting beliung, banjir, dan tanah longsor. Bencana itu juga dipengaruhi oleh menghangatnya laut.
"Selain kenaikan permukaan air, menghangatnya laut akan mengakibatkan cuaca ekstrem karena menghangatnya bisa menyebabkan air yang menguap makin banyak yang bisa berkumpul atau menyebar, persoalannya berkumpul tertiup angin bisa menyebabkan hujan ekstrem," kata Ketua Umum Jaringan Ahli Perubahan Iklim itu.