Rabu 28 Nov 2018 01:42 WIB

Dari Pogacnic, Kolev, Milla, Hingga Bima

Sudah ada puluhan pelatih asing yang mencoba mencari peruntungan di timnas Indonesia.

Red: Endro Yuwanto
Endro Yuwanto
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Endro Yuwanto

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Endro Yuwanto *

Di awal tahun 2000-an saya mengenal dan sering wawancara Ivan Venkov Kolev yang tak fasih berbahasa Indonesia melalui seorang penerjemah. Pelatih asal Bulgaria ini kala itu menukangi timnas Indonesia.

Setiap latihan, Kolev kala itu menitikberatkan pada kekuatan fisik dan mental. Seperti ciri khas permainan sepak bola Eropa Timur.

Kolev sempat mengeluhkan fisik para pemain Indonesia yang tak bisa tampil penuh sepanjang 2x45 menit permainan. Hal inilah yang terus digenjotnya selama latihan. Ia pun menginginkan setiap pemain mampu bertahan dengan baik, termasuk pemain yang berposisi sebagai penyerang.

Di bawah asuhan Kolev, timnas Indonesia berlaga di Piala AFF 2002 yang ketika itu masih bernama Piala Tiger. Timnas Indonesia nyaris meraih gelar perdana. Akan tetapi, impian tersebut buyar hanya karena ketidakberuntungan. Indonesia kalah dari Thailand yang diarsiteki Peter Withe melalui drama adu penalti dengan skor 2-4 di laga final.

Beberapa hari sebelum laga final, saya sempat duduk dekat White di tribun Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan Jakarta. Pelatih asal Inggris itu terlihat begitu serius mengamati permainan Indonesia yang tampil berlaga kontra Malaysia di semifinal. Sesekali, ia mencorat-coret beberapa lembar kertas yang dibawanya dengan skema pola permainan.

Dua kali beruntun pada 2000 dan 2002, Withe membawa Thailand ke final Piala AFF dan memenangi kedua final itu. Sekitar dua tahun kemudian, Indonesia mengontrak Withe untuk menukangi timnas di Piala AFF 2004. Withe menerapkan taktik yang identik dengan kultur sepak bola Inggris. Skema permainan dan mental bertanding skuat Garuda menjadi fokus perhatiannya.

Tangan dingin Withe akhirnya memang meloloskan Indonesia ke final Piala AFF 2004. Namun sekali lagi, Dewi Fortuna tidak memihak. Indonesia gagal merengkuh gelar juara Piala AFF setelah menyerah dengan agregat 2-5 dari Singapura. 

Pada 2010, timnas Indonesia kembali ditukangi pelatih asing, Alfred Riedl. Pelatih asal Austria ini berhasil mengantarkan Indonesia melaju ke final Piala AFF 2010. Sayang, meski tampil perkasa sejak fase grup, di final skuat Garuda kembali tak beruntung. Kalah di final dari Malaysia dengan agregat 2-4.

Kekalahan tersebut pun berusaha ditebus arsitek tim asal Austria itu pada Piala AFF 2016. Namun, Dewi Fortuna kembali belum berpihak pada Indonesia yang kalah agregat 2-3 dari Thailand di final.

Sejak PSSI berdiri pada 1930 silam, sudah ada puluhan pelatih asing yang mencoba mencari peruntungan di skuat timnas Indonesia. Ada yang sukses, tentu ada pula yang gagal.

Deretan nama pelatih asing yang sukses misalnya Wiel Coerver dari Belanda. Ia nyaris membawa timnas lolos ke Olimpiade Montreal 1976. Sayang, pasukan Garuda harus tersingkir setelah ditundukkan Korea Utara melalui drama adu penalti, 4-5.

Memang, gelar yang berhasil diraih pelatih asing di timnas Indonesia tak banyak. Jika bicara kesuksesan, nama Anatoli Fyodorovich Polosin dan Antun “Tony” Pogacnik terdepan. Polosin mempersembahkan medali emas buat Indonesia di SEA Games 1991.

Sementara, siapa yang bisa menyaingi pencapaian Pogacnik yang mendapat perunggu Asian Games 1958 dan perempat final Olimpiade 1956? Pogacnik tercatat sebagai pelatih terlama yang pernah membesut timnas Indonesia, yakni selama 10 tahun pada periode 1954-1964. Banyak bintang-bintang sepak bola Tanah Air yang dilahirkan arsitek tim asal Polandia itu.

Pogacnik punya karakter disiplin, sportif, dan tegas. Ia juga kerap melakukan peremajaan skuat.

Lain cerita dengan Polosin. Seperti Kolev, pelatih asal Rusia itu fokus terhadap fisik pemain. Tak sedikit pemain mundur karena tidak kuat dengan latihan fisik Polosin. Namun, dengan metodenya itu, Indonesia menjadi tim dengan fisik tangguh.

Dari polesan tangan sejumlah pelatih asing itu, muncul pula pelatih lokal yang tak kalah mumpuni setelah mengabdi sebagai asisten pelatih. Sebut saja Danurwindo, Rahmad Darmawan, dan Widodo C Putro.

photo
Pelatih Timnas Indonesia Bima Sakti (tengah) bersama sejumlah pemain dalam sesi latihan di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (24/11/2018).

Sebenarnya bukan soal pelatih asing atau lokal untuk menyebut siapa yang layak membesut timnas Indonesia. Pelatih lokal pun bisa mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Bertje Matulapelwa mengantar timnas Indonesia jadi yang terbaik di SEA Games 1987. Satu tahun sebelumnya, timnas asuhannya sukses menembus semifinal Asian Games 1986.

Tim asuhan Bertje dianggap skuat terbaik Indonesia sepanjang masa hingga kini. The Dream Team skuat Indonesia kala itu dihuni pemain-pemain top, seperti Herry Kiswanto, Rully Nere, Robby Darwis, Sutan Harharah, Nasrul Koto, Ribut Waidi, dan Ricky Yakobi.

Sinyo Aliandoe juga bisa disebut sebagai pelatih lokal yang sukses. Jika saja timnas tak takluk dua leg dari Korea Selatan, mungkin kita bisa melihat Indonesia berlaga di Piala Dunia Meksiko 1986. Ini karena pada penyisihan Grup 3B zona Asia, Indonesia keluar sebagai juara grup pasca-menaklukkan India, Bangladesh, serta Thailand.

Gaya melatih Sinyo mementingkan teknik dari olah bola itu sendiri. Selain itu, ia menekankan pentingnya menikmati pertandingan.

Belum lama ini atau sejak 20 Januari 2017 hingga Oktober 2018, timnas Indonesia diracik pelatih asing asal Spanyol, Luis Milla Aspas. Mantan pemain Barcelona dan Real Madrid ini berhasil menerapkan dasar-dasar sepak bola indah dengan memainkan bola dari kaki ke kaki yang brilian. Mental dan fisik pemain pun tampak terasah selama tampil 2x45 menit.

Saat kebobolan lebih dulu dari lawan, para pemain tak panik. Begitu pula saat Indonesia unggul namun lawan mampu menyamakan kedudukan, para pemain terlihat tak emosional hingga menit akhir.

Namun secara prestasi, Milla dianggap gagal. Mantan pelatih timnas Spanyol U-21 yang juara Piala Eropa itu hanya mengantar timnas meraih perunggu SEA Games 2017 dan babak 16 besar Asian Games 2018. Padahal, target yang ditetapkan adalah juara SEA Games 2017 dan semifinalis Asian Games 2018.

PSSI pun tak meneruskan kerja sama dengan Milla, meski desakan masyarakat untuk mempertahankan Milla terus bergaung. Ada rumor PSSI tak sanggup membayar gaji Milla yang selangit.

PSSI kemudian secara mendadak menggantikan Milla dengan asisten pelatihnya, Bima Sakti Tukiman. Bima menggantikan peran Milla pada 21 Oktober. Sementara kick-off perdana Piala AFF 2018, pada 8 November, tak sampai satu bulan sebelum gelaran. Belum lagi Piala AFF kali ini bersamaan dengan tensi tinggi kompetisi lokal menjelang akhir musim. Hasilnya bisa ditebak, Indonesia gagal total di Piala AFF 2018.

Bima pun mengakui belum pantas menjadi pelatih timnas di level senior. Ia merasa seperti siswa SMP, tetapi menghadapi ujian level universitas. Nasib Bima sebagai pelatih timnas Indonesia kini tinggal menghitung hari.

Memang prestasi sebuah timnas tak hanya bergantung pada pelatih, baik lokal maupun asing. Yang justru diperlukan adalah program jangka panjang pembangunan prestasi timnas yang selama ini hanya berkutat pada sekadar jargon. Siapa pun pelatihnya, membutuhkan proses yang tentu saja tak bisa instan.

*) Jurnalis Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement