Senin 21 Jun 2021 15:27 WIB

Antara Soekarno, Pemimpin Independen, dan Petugas Partai

Bung Karno berharap tak ada keturunannya menjadi pemimpin politik dan pemimpin negara

Red: Karta Raharja Ucu
Sutan Syahir, Sukarno, dan Hatta.
Foto: Gatehna.nl
Sutan Syahir, Sukarno, dan Hatta.

REPUBLIKA.CO.ID, Saya bukan orang yang antiparpol. Parpol mutlak diperlukan dalam demokrasi. Namun, saya bisa paham ketika banyak kalangan menilai parpol justru jauh dari merepresentasikan kepentingan masyarakat. Juga saya bisa maklum manakala politisi parpol dipandang lebih mewakili tuntutan partainya ketimbang memperjuangkan kepentingan masyarakat yang memberikan suaranya langsung di kotak suara.

Dalam konteks itulah, selaku senator yang berarti merupakan representasi langsung masyarakat di daerah-daerah di seluruh Indonesia, saya berempati pada Ganjar Pranowo. Dia memang tokoh senior parpol. Namun, dari waktu ke waktu semakin nyata dia menyelami denyut kehidupan warga yang dipimpinnya, dan trade off-nya adalah dia menjadi kian berjarak dari partai yang menaunginya.

Tampaknya ada keinsafan bulat pada diri Ganjar bahwa dalam situasi harus memilih, dia pilih untuk mendahulukan warganya betapa pun itu menepikan partainya. Dan, ketika parpol menjadi berang akibat polah Ganjar itu, pada detik itu pula sah bagi Ganjar untuk menyandang status sebagai anggota parpol yang menolak menjadi petugas parpol.

Idealisme semacam itu sesungguhnya bukan barang baru. Justru Ganjar sedang memperagakan Soekarnoisme sejati. Bahwa meskipun Soekarno adalah pendiri dan tokoh sentral PNI, sebagai pemimpin nasional Bung Karno justru tidak memosisikan PNI sebagai partainya. Bung Karno bahkan kemudian malah berjarak dari partai yang dibentuknya. Begitu pula relasi Ganjar terhadap partainya.

Bedanya, PNI tidak pernah merasa kehilangan Soekarno, sementara PDIP justru seolah memandang Ganjar sebagai anak durhaka. Sebagai petugas yang membangkang terhadap titah panglimanya, tepatnya.

Apa sumber gesekan itu? Barangkali kita, sekali lagi, bisa becermin pada PNI. PNI tidak mempersiapkan putra mahkota sama sekali. Apalagi, pewaris PNI itu harus memiliki silsilah dari garis Bung Karno.

Bahkan, Bung Karno, dari bacaan yang saya punya, justru berharap tidak ada keturunannya yang menjadi pemimpin politik apalagi pemimpin negara. Kontras dengan itu, Ganjar disebut-sebut menjadi penghalang bagi rencana regenerasi kepemimpinan yang diinginkan partainya.

Ringkasnya, Ganjar memang tidak mewarisi DNA Soekarno. Tapi, sangat mungkin idealisme Bung Karno menitis ke dalam dirinya.

Dengan predikat selaku anggota parpol yang menolak menjadi petugas parpol itulah, Ganjar patut dikedepankan sebagai salah satu nama di barisan depan pemimpin Indonesia masa depan. Sekaligus, dia berpotensi kuat menjadi figur pendobrak kejumudan parpol dan pemecah kepengapan iklim berpartai yang kian dahsyat belakangan ini.

Lalu, dengan siapa Ganjar pantas berduet?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement