Senin 15 Nov 2021 16:05 WIB

Studi Temukan Antibodi Malaria di Dalam Tubuh Manusia

Antibodi malaria ditemukan pada beberapa bagian tubuh manusia.

Red: Nora Azizah
Antibodi malaria ditemukan pada beberapa bagian tubuh manusia.
Foto: Pixabay
Antibodi malaria ditemukan pada beberapa bagian tubuh manusia.

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh: Umi Nur Fadhilah

Baca Juga

JAKARTA -- Malaria, patogen yang ditularkan ke dalam darah oleh nyamuk di iklim tropis, biasanya dianggap sebagai infeksi darah dan hati. Namun, dalam sebuah penelitian baru University of Maryland School of Medicine (UMSOM) mendeteksi antibodi yang terutama dibuat sebagai respons terhadap infeksi pada selaput lendir, yakni di area seperti paru-paru, usus, atau vagina, pada peserta penelitian dengan malaria

Para peneliti mengatakan, temuan tak terduga ini memberikan wawasan baru tentang bagaimana tubuh manusia merespons infeksi malaria. Temuan ini pada akhirnya dapat membantu mengidentifikasi cara-cara baru dalam mengobati malaria atau mengembangkan vaksin.

Studi yang dipublikasikan di NPJ Vaccines mencatat bahwa lebih dari 400 ribu orang meninggal setiap tahun karena infeksi malaria, dengan lebih dari dua pertiga kematian terjadi pada anak di bawah 5 tahun. Pada awal Oktober 2021, WHO merekomendasikan penggunaan vaksin malaria baru secara luas pada anak-anak yang tinggal di daerah dengan tingkat penularan malaria sedang hingga tinggi. 

Ini merupakan vaksin manusia pertama yang direkomendasikan untuk infeksi parasit. Sementara vaksin akan mencegah jutaan infeksi dan menyelamatkan ribuan nyawa, para peneliti secara aktif mengejar generasi berikutnya dari vaksin malaria yang mungkin lebih efektif.

“Kami telah membuat kemajuan dalam mengobati dan mencegah kematian akibat infeksi malaria, tetapi kemajuan stagnan, dan kami membutuhkan ide-ide baru,” kata Dokter Penyakit Menular Pediatrik dan Penulis Studi, Andrea Berry, dilansir  dari Eurasia Review, Senin (15/11).

Anggota Associate Professor of Pediatrics di UMSOM dan ilmuwan di Pusat Pengembangan Vaksin dan Kesehatan Global (CVD) UMSOM itu mengatakan bahwa tidak banyak yang dilakukan untuk mempelajari antibodi IgA pada infeksi malaria, karena orang tidak menganggapnya penting. Namun, dia dan tim memutuskan melakukan penelitian itu. Sistem kekebalan tubuh menciptakan berbagai jenis antibodi untuk membantu membersihkan infeksi dan mencegah infeksi ulang.

Dalam penelitian kecil sebelumnya, tim peneliti mempelajari respons antibodi lain pada pasien dengan infeksi malaria. Mereka mendeteksi antibodi IgM, yang muncul lebih awal pada banyak infeksi, bersama dengan IgG, yang merupakan antibodi paling melimpah, juga menemukan antibodi IgA. Para peneliti memutuskan menindaklanjuti dengan studi baru untuk memeriksa lebih banyak sampel untuk mengkonfirmasi apa yang telah mereka amati, serta mempelajari kelompok tambahan.

Untuk studi baru, tim peneliti melihat antibodi yang dikumpulkan dari darah 54 peserta penelitian dewasa, setelah terinfeksi malaria di laboratorium, baik melalui infus yang dimasukkan langsung ke dalam darah atau melalui gigitan nyamuk. Mereka juga memeriksa sampel darah yang diambil dari 47 anak yang tinggal di Mali, Afrika Barat, yang terdaftar dalam uji coba vaksin malaria dan tertular malaria selama masa penelitian.

Para peneliti mendeteksi antibodi IgA tingkat tinggi pada peserta dewasa yang terinfeksi malaria. Selain itu, 10 anak memiliki tingkat antibodi IgA yang serupa dengan orang dewasa yang diuji.

“Kami tidak tahu apa yang memicu antibodi IgA untuk berkembang, tetapi kami pikir itu terjadi pada awal infeksi malaria,” ujar Berry.

Beberapa orang berpikir bahwa respons itu mungkin terjadi ketika nyamuk menyuntikkan parasit ke dalam kulit. Menariknya, beberapa peserta tidak digigit nyamuk, di mana infeksi malaria terjadi secara intravena. Karena itu, mereka memperkirakan ada pemicu tambahan untuk pengembangan IgA.

Peneliti menemukan bahwa anak-anak tidak secara universal memiliki tingkat IgA yang tinggi. Peneliti memperkirakan ada beberapa penjelasan untuk perbedaan antara orang dewasa dan anak-anak ini.

“Mungkin, sistem kekebalan anak-anak merespons parasit secara berbeda daripada orang dewasa, atau mungkin antibodi IgA hanya dibuat selama infeksi malaria pertama,” kata Berry.

Untuk peserta dewasa, peneliti tahu bahwa mereka menerima infeksi pertamanya. Namun, peneliti tidak tahu apakah mereka telah terinfeksi sebelumnya ketika masih kecil.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement