Ahad 30 Jan 2022 22:02 WIB

Pembuat Lilin di Tangerang Raup Keuntungan, Perajin Barongsai Sebaliknya

Dalam proses pembuatannya dilakukan dengan suasana hati yang tenang.

Rep: Eva Rianti/ Red: Muhammad Fakhruddin
Pekerja menyelesaikan pembuatan lilin di Karawaci, Kota Tangerang, Banten, Rabu (26/1/2022). Jelang Hari Raya Imlek, produksi lilin yang dijual dari harga Rp14 ribu hingga Rp20 juta tersebut meningkat hingga lima kali lipat dibanding hari biasanya.
Foto: ANTARA/Fauzan/rwa.
Pekerja menyelesaikan pembuatan lilin di Karawaci, Kota Tangerang, Banten, Rabu (26/1/2022). Jelang Hari Raya Imlek, produksi lilin yang dijual dari harga Rp14 ribu hingga Rp20 juta tersebut meningkat hingga lima kali lipat dibanding hari biasanya.

REPUBLIKA.CO.ID,TANGERANG -- Menjelang perayaan Tahun Baru Imlek 2573 yang jatuh pada Selasa, 1 Februari 2022, penjualan lilin di Kota Tangerang, Banten mengalami peningkatan. Para pengusaha lilin meraup keuntungan berkali-kali lipat dari tingginya permintaan terhadap salah satu perlengkapan sembahyang tersebut. 

Antonius, salah satu pembuat lilin di kawasan Karawaci, Tangerang mengaku, jelang Imlek dirinya memperoleh pendapatan yang meningkat hingga lima kali lipat dibanding bulan biasanya. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen, jam kerja karyawan ditambah dalam proses produksi lilin. 

Baca Juga

Antonius mengatakan, bisnis yang ia bangun sejak 1990-an itu memproduksi lilin dengan beragam ukuran, mulai dari ukuran satu kati hingga 1.000 kati. Adapun kisaran harganya variatif mulai dari Rp14 ribu. Harga tertinggi sekitar Rp20 juta dengan ketinggian lebih dari tiga meter lebih yang mampu menyala selama enam bulan.

"Berbagai ukuran punya peminatnya, dan cukup hampir rata. Mulai dari perorangan, kelompok hingga kelenteng dari berbagai daerah di Jabodetabek. Banyak dari mereka diminta dituliskan nama pembeli, falsafah atau keberuntungan untuk keluarga dan bisnis. Tulisan kami cetak warna emas bukan tulisan tangan. Jadi, terlihat mahal, elegan dan indah untuk dipajang," tutur dia, Ahad. 

Namun, peningkatan tersebut, kata Antonius, tetap tidak setinggi saat tahun-tahun biasanya sebelum dilanda pandemi Covid-19. Kendati demikian, kondisi itu tetap harus dijalani karena masih tetap memberikan pemasukan. 

Menurut pemahamannya, dalam pembuatan lilin ada nilai filosofisnya. Setiap lilin diyakini memiliki nyawa atau aura positif. Sehingga dalam proses pembuatannya dilakukan dengan suasana hati yang tenang dan menciptakan keberkahan bagi setiap konsumen atau orang yang bakal menikmati keindahan lilin yang dibuat.

"Jadi bukan sekadar berjualan atau kirim lilin. Tapi lewat setiap cahaya lilin yang saya buat, saya berharap mereka bahagia, sehat dan selalu diberkahi. Maka, sesibuk apapun, atau dalam kondisi sesepi apapun, saya tetap bertahan dengan bisnis ini, untuk cahaya yang menerangi banyak orang," katanya berfilosofis. 

Perajin Barongsai 

Sementara itu, di bisnis lainnya, yakni yang dijalani perajin barongsai, kondisinya justru tidak senada. Pendapatan para perajin barongsai mengalami penurunan drastis seiring dengan kondisi euforia perayaan Imlek yang tidak semeriah biasanya sebelum pandemi melanda. Para perajin topeng barongsai hingga pemain barongsai mengaku mengalami penurunan omset selama pandemi bergulir. 

Menjelang penyambutan Tahun Baru Imlek, kerapkali belasan topeng barongsai laku terjual, termasuk para pemain barongsai yang bisa saja tampil di berbagai titik lokasi dalam satu hari, seperti di hotel, mal, atau panggilan untuk tampil di rumah-rumah tertentu.

Kim Tjoan, seorang perajin topeng barongsai di Kecamatan Karawaci, Kota Tangerang mengaku pandemi Covid-19 sangat merenggut pendapatannya. Usaha yang telah dijalani sejak 1999 silam itu kini diakui sangat melesu.

"Sebelum pandemi belasan bahkan hingga puluhan juta saya dapati dari penjualan, penyewaan dan orderan penampilan. Sekarang satu set topeng laku saja sudah bersyukur banget, kalau undangan tampil-tampil sama sekali gak ada," ungkap Kim Tjoan.

Dia mengatakan, selama pandemi tidak lagi memproduksi topeng barongsai yang baru. Tjoan menyebut tetap bertahan dengan stok belasan topeng yang dimilikinya hingga saat ini. Yakni barongsai jenis bulu sintetis hingga bulu domba dengan beragam warna yang kerap digunakan untuk acara sakral, seperti putih, merah, kuning, hijau, pink, serta hitam. 

Adapun harganya, barongsai anak-anak seharga Rp200 ribu, barongsai besar untuk dua pemain dengan bulu sintetis seharga Rp2,5 juta. Lalu bulu domba yang termahal dengan harga Rp4,5 juta.

Kim Tjoan mengaku sudah tak mencari keuntungan. Pria dengan 15 cucu ini bertahan untuk sebuah pelestarian kebudayaan China. "Walau pendapatan kian merosot, banyak teman pengrajin beralih profesi. Kalau saya, akan bertahan untuk melestarikan kebudayaan barongsai ini, hingga saya tutup mata nanti," ungkapnya. 

Dia mengaku, sejak awal menjadi perajin Barongsai Kim Tjoan tak melulu mengutamakan perkara uang. Untuk tampil di Kota Tangerang bahkan terutama di Klenteng ia tak pernah mematok harga. "Kota Tangerang menjadi tempat saya tinggal, mungkin lewat Barongsai saya bisa mengangkat nama Kota Tangerang. Kalau di Klenteng disitu lah saya hidup," kata dia. 

Ia pun berharap, pandemi covid-19 kian terkendalikan sehingga berbagai event dan euforia Imlek bisa kembali normal. "Kebudayaan China sebagai bagian identitas Kota Tangerang. Semoga bisa terus dilestarikan dan dibanggakan Kota Tangerang. Pengrajin dan pemain barongsai bisa kembali normal dengan pendapatan dan aktivitasnya," ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement