Piala Dunia di Tengah Sinisme Warga

Reuters
Aksi demonstrasi warga Brasil menentang perhelatan Piala Dunia 2014.
Red: Didi Purwadi

Oleh Endro Yuwanto dari Sao Paolo
Saya bertemu Angelo (48 tahun) saat duduk bersebelahan di kursi pesawat dalam penerbangan dari Dubai menuju Sao Paolo.


Penerbangan selama 15 jam nonstop dari Dubai-Sao Paolo agak tak terasa menjemukan saat kami berbincang sedikit tentang Piala Dunia 2014 Brasil. Angelo adalah warga Brasil yang bekerja di perusahaan logam di Cina.

Perbincangan menjadi menarik justru saat Angelo mengaku tak antusias menyambut Piala Dunia di negaranya.

Ia tak habis pikir dengan Pemerintah Brasil yang menggelontorkan dana begitu besar triliunan reis (1 reis sekitar Rp 5.000) demi menggelar Piala Dunia, sementara sebagian warga Brasil justru masih terlilit persoalan finansial, termasuk dia. Warga Bello Horizonte ini mengaku beberapa pekan sekali harus menempuh perjalanan udara hampir 30 jam, Beijing-Dubai-Sao Paolo untuk bekerja di Cina.

Awalnya saya pikir Angelo mengada-ada. Saya pikir hanya Angelo dan sebagian kecil warga Brasil saja yang tak antusias menyambut Piala Dunia karena ia bekerja di luar negeri. Tapi, ketika mendarat di Bandara Guarulhos Sao Paolo saya mulai mengamini pernyataan Angelo. Di bandara itu, saya tak begitu melihat kemeriahan suatu negara yang menjadi tuan rumah event-event sepak bola terbesar di dunia.

Hanya ada sedikit counter kecil di sudut terminal 1, 2, dan 3 yang memberikan informasi seputar Piala Dunia plus segelintir relawan. Tak ada spanduk atau atribut untuk menyambut Piala Dunia. Padahal, laga pembukaan Piala Dunia akan berlangsung di Sao Paolo kurang dari tiga hari lagi.

Di luar bandara atau saat melintas di jalan tol bandara, semakin terasa Piala Dunia seakan bukan menjadi prioritas di sana.

Tak ada spanduk, baliho, ataupun umbul-umbul tentang Piala Dunia. Justru perusahaan asing yang menjadi oficial partner seperti Samsung dan Coca Cola yang membentangkan papan iklan menyambut Piala Dunia di sisi tol bandara. Tak ada sama sekali papan iklan dari pemerintah lokal--seperti layaknya di Indonesia--untuk menyambut Piala Dunia.

Pun ketika memasuki jantung Kota Sao Paolo saya menemui hal yang sama. Tak ada ingar-bingar ataupun atribut bahwa Piala Dunia akan digelar di kota itu. Semua seperti biasa saja. Ini sedikit membuat kecewa karena setelah menempuh total perjalanan sekitar 24 jam dari Jakarta, saya berharap menemukan kemeriahan dan gebyar Piala Dunia di sana.

Minimal seperti di Indonesia yang beberapa mini marketnya menjual pernak-pernik Piala Dunia. Saya pun berusaha membesarkan hati dengan berpikir toh Piala Dunia masih tiga hari lagi. Atau, mungkin di kota lain--ada 12 kota yang menjadi tuan rumah--ada kemeriahan lebih untuk menyambut Piala Dunia. Siapa tahu ....

Tapi, saya juga sedikit was-was gelombang protes dari sejumlah warga terhadap penyelenggaraan Piala Dunia di Brasil belum berhenti total. Beberapa kalangan menganggap Piala Dunia hanya menjadi beban bagi negara yang masih berjuang dalam impitan ekonomi seperti Brasil.

Kenyataannya memang masih banyak masyarakat Brasil yang hidup di bawah garis kemiskinan. Berbagai fasilitas umum, seperti sekolah dan rumah sakit, pun masih terbilang kumuh. Bertolak belakang dengan 12 stadion megah yang dibangun untuk menjadi tempat berlangsungnya pertandingan sepak bola antarnegara sejagat itu.

Saat saya mendarat, Ahad (8/6) malam, stasiun bus metro--semacam busway TransJakarta--yang mengintegrasikan satu lokasi dengan lokasi lainnya di Sao Paolo juga belum berfungsi kembali.

Pekerja metro masih menggelar pemogokan sejak Kamis (5/6) setelah kegagalan negosiasi gaji. Pemogokan di jaringan metro ini tentu menjadi masalah besar karena moda transportasi ini menjadi penghubung utama bagi para fans Piala Dunia untuk tiba di tempat pertandingan.

Terpaksa malam itu saya menggunakan taksi dengan ongkos yang tak murah untuk menuju penginapan saya di Diadema. Ketika saya bertanya ke sopir taksi kapan subway normal kembali, ia hanya mengangkat bahunya.

Kondisi ini seperti bertolak belakang dengan Indonesia, yang bukan tuan rumah dan bahkan tim nasionalnya tak tampil di putaran final Piala Dunia. Di tengah persiapan menjelang pemilu presiden, sebagian warga antusias menyambut Piala Dunia.

Koran-koran, baik lokal maupun nasional, berlomba-lomba menambah halaman Piala Dunia. Sekitar 30 wartawan cetak dan elektronik berbondong-bondong ke Brasil untuk membuat liputan sedekat mungkin sekaligus menjadi mata bagi warga penggemar sepak bola di Indonesia.

Mungkin benar dengan apa yang telah diberitakan beberapa kantor berita sebelumnya bahwa warga Brasil saat ini tak membutuhkan Piala Dunia. Yang dibutuhkan adalah perbaikan kesejahteraan, temasuk di dalamnya fasilitas umum. Apalagi Brasil adalah langganan juara Piala Dunia dengan mengangkat trofi juara sebanyak lima kali.

Tapi, apa benar Brasil tak menginginkan mengangkat trofi Piala Dunia lagi? Miguel, pemilik penginapan yang saya tempati di Sao Paolo langsung memberikan jawabannya, "Brasil akan menjuarai Piala Dunia, tapi dengan cara membelinya, apa pun sekarang sudah bisa dibeli ...." Hmn, sebuah pernyataan yang sinis.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler