Pemerintah Diminta Realistis Tetapkan RAPBN 2017
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi Partai Demokrat meminta pemerintah lebih realistis dalam menetapkan kerangka Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2017, khususnya dalam hal penerimaan negara. Demokrat berkaca dari pengalaman yang ada, penerimaan negara yang terlalu tinggi sulit dicapai.
Anggota Komisi VI Fraksi Demokrat Wahyu Sanjaya menyatakan, target penerimaan negara yang diperkirakan meningkat dari 2016 merupakan sikap optimis pemerintah dalam penerimaan yang bersumber dari pajak.
''Semestinya pemerintah lebih realistis dan objektif," katanya mewakili pandangan fraksi Demokrat dalam rapat paripurna, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (26/5).
Hal itu terbukti dari pengalaman 2015, dimana target penerimaan negara hanya tercapai 84 persen. Selain itu, penerimaan negara dari pajak turun 7 persen dari tahun sebelumnya. Karena itulah Fraksi Demokrat meminta pemerintah belajar dari pengalaman tersebut.
''Hal itu agar kredibilitas pemerintah di mata rakyat bisa terjaga,'' ucapnya.
Wahyu menuturkan, dana belanja pemerintah juga difokuskan untuk ketahanan pangan dan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Bukan hanya untuk pembangunan infrastruktur, tapi program-program yang pro-rakyat.
''Sekali lagi program yang pro rakyat. Itu bisa dilakukan melalui program penanggulangan kemiskinan," jelasnya.
Juru Bicara Fraksi Partai Golkar Hamka B. Kady menjelaskan, setelah mencermati kerangka dan pokok-pokok kebijakan fiskal 2017, ia berpandangan target pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah dari 5,3 persen sampai 5,9 persen masih bisa ditingkatkan.
Hal ini karena ada optimisme sepihak dari pemerintah, dalam upaya pemanfatan anggaran untuk pembangunan infrastruktur.
''Kami memberikan catatan pada target pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,5 persen hingga 6,1 persen,'' ujarnya.
Menurutnya, nilai tukar rupiah yang diperkirakan Rp13.650 sampai dengan Rp 13.900 per dolar Amerika, perlu dicermati secara serius dengan memperhitungkan potensi tekanan eksternal maupun domestik yang terjadi pada 2016. Resiko gejolak liquiditas, diperkirakan akan mewarnai pasar keuangan global, serta defisit neraca pembayaran Indonesia.
Menurut Hamka, prioritas utama adalah bagaimana mengakselerasi penerimaan pajak, agar mampu meningkatkan belanja negara terutama belanja modal sebagai penopang pertumbuhan.
"Harus didorong dari ekstentifikasi, terutama WP OP (Wajib Pajak Orang Pribadi). Pemerintah bisa perlebar ruang defisit. Golkar meminta agar lebih optimistis jadi 5,5-6,1 persen di 2017," jelasnya.