DPR Temukan Kejanggalan Terkait SP3 Pembakar Lahan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi III DPR RI, bertemu dengan Polda Riau dan Kejati Riau, guna mengonfirmasi pemberian Surat Perintah Pemberian Penyidikan (SP3) terhadap 15 perusahaan diduga pembakar lahan pada 2015.
Dalam pertemuan tersebut, Komisi III menemukan sejumlah kejanggalan terkait pemberian SP3 itu. Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu menyebutkan, kejanggalan dalam pemberian SP3 dari Polda Riau, pertama adalah waktunya terlalu singkat.
SP3 itu dikeluarkan setelah menetapkan tersangka pada 2015 dan memberikan SP3 kepada 15 perusahaan. Padahal, Polda Riau dinilai belum melakukan penyidikan secara menyeluruh. ''Kok cepat sekali menetapkan tersangka, cepat juga mengeluarkan SP3,'' kata Masinton, saat dihubungi, Kamis (4/8).
Selain itu, lanjut politikus PDIP itu, adanya saling lempar kesalahan antara Kejaksaan Tinggi dan Polda. Ia menjelaskan, Polda menyebut kejaksaan tidak pernah mau ke lokasi kebakaran untuk melakukan penyelidikan.
Sementara, ketika dikonfirmasi ke Kejati, justru Kejati yang menuding Polda yang tidak pernah mau diajak melihat kondisi lapangan. ''Ini kan ada yang aneh. Jangan-jangan Kejaksaan dan Polda sudah 'masuk angin','' ucapnya.
Masinton melihat ada yang aneh dalam pemberian SP3 ini. Sebab, dari 18 tersangka, hanya dua perusahaan yang lanjut proses hukumnya, namun 1 perusahaan divonis bebas dan 15 perusahaan diberikan SP3.
Selain itu, semestinya Polda jangan terpaku pada izin yang sudah kadaluarsa. Mereka harus fokus kepada lahan yang telah terbakar tersebut, untuk menyidik secara tuntas. ''Komisi III juga membawa sejumlah berkas untuk dipelajari secara detail mengenai pemberian SP3 tersebut,'' kata dia.
Nasir Djamil, anggota Komisi III dari fraksi PKS mengungkapkan, dirinya juga menemukan kejanggalan dalam pemberian SP3 tersebut. Ternyata, saat dikonfirmasi ke Kejati, mereka mengaku hanya menerima surat pemberitahuan SP3 untuk tiga perusahaan. Sementara 12 perusahaan lagi belum diserahkan ke kejati.
''SP3 itu kan surat pemberitahuan kepada Kejati bahwa perkara itu sudah diberhentikan. Tapi ternyata kok cuma ada tiga perusahaan, sementara Polisi menyebutkan ada 15,'' ucap Nasir saat dihubungi.
Sehingga, dari sana ia menilai ada yang salah dalam proses pemberian SP3 ini. Mengapa ada miskomunikasi terhadap kasus yang merugikan masyarakat begitu besar ini.
Ia juga menilai, Kejati dan Polda Riau saling lempar perihal keengganan mereka untuk mengecek lokasi kebakaran. Padahal, semestinya mereka bersinergi dalam mengungkap kasus ini. ''Jangan sampai, masyarakat tidak percaya lagi terhadap penegak hukum,'' tutur dia.
Anggota Komisi III fraksi Demokrat Ruhut Sitompul menambahkan, tidak bisa meminta keterangan kepada Kapolda yang sekarang Brigjen Supriyanto baru empat bulan menjabat. Sementara, yang mengeluarkan SP3 itu adalah Kapolda sebelumnya Brigjen Bambang Hermawan.
''Mungkin karena waktu itu sangat serius, ditindak semua, jadi mereka jemput bola. Setelah melihat faktanya kok begini,'' ucap Ruhut.