Adang Daradjatun Dorong Pemuda tak Alergi Berpolitik
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi VI DPR Adang Daradjatun mendorong para pemuda untuk bersikap idealis namun tidak alergi dengan dunia politik. Adang mengimbau para pemuda masuk dalam sistem pemerintah dan menyuarakan perubahan di DPR.
Dorongan ini disampaikan eks Wakapolri yang juga politikus senior PKS itu dalam diskusi peluncuran buku "Torehan Kami Warnai Negeri" karya para alumni SMA Negeri 1 Jakarta atau yang beken disebut SMA Boedoet (karena terletak di Jalan Budi Utomo) di Plaza Indonesia, Senin (13/3). Adang adalah satu satu alumni SMA itu.
Dalam diskusi itu hadir para alumni Boedoet yang menjadi tokoh nasional, antara lain Surjadi Soedirdja (eks Gubernur DKI, Mendagri, dan Menko Polhukam), JB Sumarlin (eks Kepala Bappenas dan Menkeu), dan Dorodjatun Kuntjoro Jakti (eks Menko Perekonomian). Buku tadi ditulis oleh 13 alumni Boedoet yang menjadi tokoh nasional.
Adang berharap, tulisan dalam buku itu dapat menginspirasi para anak muda siswa Boedoet dan anak muda lain untuk meraih sukses dan mengabdi ke negara. "Mudah-mudahan buku ini akan jadi kebanggaan para junior sehingga mampu mengikuti kesuksesan senior," ucap Adang, dalam keterangan persnya, Selasa (14/3).
Di dalam buku itu, Adang menulis mengenai idealisme. Titik tekannya adalah kesiapan pemuda untuk mendorong perubahan. "Saya tulis bahwa perubahan harus terjadi. Buku ini ingin memberi dorongan bagi siswa-siswa SMA 1 sehingga dapat pandangan-pandangan idealisme," katanya.
Agar gerakan perubahan lebih efektif, lanjutnya, para pemuda harus mendorongnya dari dalam sistem. Karena itu, penting bagi para pemuda untuk masuk organisasi partai politik dan bisa duduk sebagai anggota Dewan di Senayan.
"Idealisme itu jangan teriakkan di luar. Tapi, perjuangkanlah di dalam. Saya ingin menularkan idealisme ini ke genereasi muda," tandasnya.
Surjadi Soedirdja lebih bercerita mengenai filosofi perjuangan. Menurutnya, dalam hidup, tidak ada yang kebetulan. Dia dapat bersekolah dan kemudian meniti karier sampai menjadi gubernur DKI dan Menko Polhukam juga bukan kebetulan.
"Saya ini orang kampung, dari Banten. Sekolah di Boedoet karena di Banten waktu itu tidak ada sekolah tipe B. Tapi itu bukan kebetulan. Itu sekenario Tuhan. Maka, kita harus jalani dengan baik," imbuhnya.
JB Sumarlin dan Dorodjatun Kuntjoro Jakti memilih bercerita mengenai ilmu yang diperoleh di Boedoet yang modal menjadi modal mereka dalam meniti karier. JB Sumarlin menyebut, selama kariernya, dia pernah menghadapi dua tugas berat. Salah satunya mengenai krisis keuangan Pertamina pada tahun 1975. Saat itu, negara punya utang 10,5 miliar dolar akibat kontrak-kontrak kerja Pertamina yang nggak beres.
"Ini merupakan kesulitan besar negara. Secara teknis, negara kita waktu itu bangkrut. Syukur sikap pemerintah cepat dan tegas. Presiden menolak utang-utang itu. Presiden memerintah perundingan agar utang dibatalkan. Yang ditugaskan untuk menangani itu saya," kisahnya.
Dorodjatun Kuntjoro Jakti bercerita, pada usia 21 sudah ditarik oleh Bung Karno untuk membantu di Istana. Kemudian, dia ditarik oleh Megawati untuk menjadi Menko Perekonomian. Semua itu berbekal ilmu yang didapatnya di Boedoet.
"Di Boedoet, saya mendapatkan kemampuan bahasa Inggris yang sangat baik. Di Boedoet juga saya mendapatkan kemampuan matematika dan sains yang kuat, karena waktu itu diajarkan oleh guru-guru yang profesional," tuturnya.