Hadits Mengenai Hari-Hari Dibolehkannya Puasa
Puasa dalam ajaran Islam ada banyak jenisnya.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puasa dalam ajaran Islam ada banyak jenisnya. Ada yang hukumnya bersifat wajib seperti puasa Ramadhan, sunah, hingga puasa yang tidak memiliki kekuatan hukum tertentu. Dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd disebutkan, berpuasa di Jumat dihukumi berbeda menurut kalangan ulama.
Imam Malik beserta murid-muridnya menghukumi puasa di hari itu merupakan tidak makruh, tetapi ulama-ulama yang lain menghukuminya makruh kecuali jika disertai dengan berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya. Adapun ulama-ulama yang berpendapat demikian dipopulerkan oleh Imam Syafi’i, di mana makruh bagi umat Muslim berpuasa di hari Jumat secara tunggal.
Perbedaan pendapat di kalangan ulama ini lantaran adanya beberapa hadis yang beragam. Kemudian, hari syak (waswas/ragu-ragu). Mengenai puasa di hari ini, mayoritas ulama melarang umat Muslim berpuasa di hari tersebut. Sebab dikhawatirkan waktunya sudah masuk dalam Ramadhan.
Hal itu berdasarkan beberapa hadis yang menjelaskan dasar memulai puasa Ramadhan ialah melihat bulan atau menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Kecuali menurut pendapat yang dikutip oleh Ibnu Umar.
Tak hanya itu, para ulama pun berbeda pendapat mengenai niat berpuasa sunah pada hari syak. Sebagian mereka menghukumi makruh, tetapi sebagian mereka yang lain memperbolehkannya.
Tentang berpuasa pada Sabtu, ulama juga berselisih pendapat. Sebab mereka berbeda pendapat soal keshahihan riwayat hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan beliau bersabda: “Jangan kalian berpuasa pada hari Sabtu, kecuali puasa yang telah diwajibkan atas kalian,”. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Menurut Imam Malik seperti yang dikutip oleh Abu Dawud dalam As-Sunan, hadis tersebut dusta karena ada hadis yang menentangnya dengan sanad (kebersambungan) yang shahih. Yakni hadist yang diriwayatkan dari Kuraib berbunyi: “Sesungguhnya beberapa sahabat Rasulullah SAW menyuruh aku menemui Ummu Salamah untuk bertanya kepadanya tentang hari-hari di mana Rasulullah sangat rajin berpuasa”. Dia pun menjawab: “Hari Sabtu dan Ahad.”
Mereka lalu menemui Ummu Salamah dan beliau menjawab: "Ya benar. Rasulullah pernah bersabda Sabtu dan Ahad adalah hari raya orang-orang musyrik. Dan aku ingin berbeda dari mereka”. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i, Al-Baihaqi, dan Ibnu Hibban.
Selanjutnya, puasa di setengah bulan terakhir dari bulan Sya’ban. Menurut Ibnu Rusyd, mengenai puasa ini para ulama menghukuminya makruh dan sebagian ulama memperbolehkannya. Adapun ulama-ulama yang menghukuminya makruh mengacu pada rujukan hadis Rasulullah SAW.
Rasulullah bersabda: “Tidak ada puasa sama sekali pada separuh terakhir dari bulan Sya’ban hingga Ramadhan,”. Hadis ini diriwayatkan oleh Ashhab As-Sunan dan hadist-nya dinilai shahih oleh Ibnu Hibban dengan redaksi: “Ketika tiba pertengahan bulan Sya’ban, janganlah berpuasa.”
Sementara itu ulama-ulama yang memperbolehkan puasa di hari ini mengacu pada landasan hadis yang bersumber dari Ummu Salamah. Ia berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW berpuasa dua bulan berturut-turut selain Sya’ban dan Ramadhan."
Selain itu juga berdasarkan hadis yang bersumber dari Ibnu Umar, ia berkata: “Rasulullah SAW biasa merangkap puasa Sya’ban dan Ramadhan”. Hadis ini diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam kitabnya berjudul Ma’ani al-Atsar. Dan di dala sanadnya terdapat nama Laits bin Abu Sulaim, seorang perawi yang dhaif (lemah periwayatan). Kata Ibnu Hibban, ketika lanjut usia Laits bin Abu Sulaim mengalami stres.