Menasehati Ataturk

Attaturk tahu betul dirinya sosok lemah. Ia hanya memiliki fantasi bagaimana membuang jauh citra kuno dan tertinggal dari setiap warisan sang khalifah.

tangkapan layar
Mustafa Kemal Ataturk
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Peta era kejayaan Ottoman di buku William M. Hale, Turkish Foreign Policy since 1774 (2013) seolah terpaut syahdu kala karya Soner Cagaptay (2020), Erdogan’s Empire: Turkey and the Politics of the Middle East datang di meja kerja saya. Sederhana sebenarnya sampul karya Cagaptay berlatar putih dengan wajah Recep Tayyip Erdoğan yang dirupa Charlotte James. Tapi sampul yang simpel ini mengguratkan ingatan saya atas visi 2023 Erdoğan.

“Diam!”

Suara membentak itu membuat semua mata tertuju sang empu suara: Musthafa Kamal Ataturk. Bukan sembarang perintah. Amat sayang untuk mengabaikan apa yang terjadi berikutnya.

Batas kesabaran Ataturk tampaknya habis. Lelaki di hadapannya tidak bisa ditoleransi untuk terus mencecar dirinya. Jawaban dan sanggahan yang diberikannya belum cukup untuk membuat lelaki itu diam.

Lelaki itu memang memiliki kedudukan penting di hati Ataturk. Namanya Dr Rasyid Ghalib. Rasyid sesungguhnya memiliki banyak kesamaan sikap dan kebiasaan dengan Ataturk. Meski Rasyid dihormati Ataturk, jangan salah sangka kalau Rasyid juga pemuja berat penguasa Republik Turki yang belum lama didirikan saat itu. Ataturk menaruh hormat pada Rasyid lantaran lelaki itu sosok yang cerdas, rajin bekerja, aktif, dan motorik.

Dalam buku penting yang dilarang di negerinya ketika diterbitkan, Dhabith Tarki Sabiq menyebutkan Ataturk melihat Rasyid memiliki visi revolusioner, sangat mencintai negara, dan ketulusannya. Maka, berbeda dengan sosok intelektual ataupun para jenderal di sekelilingnya, Ataturk masih bisa menahan diri khusus ketika diserang sang pemujanya.

Tapi kali ini berbeda. Beberapa menit sebelumnya Rasyid baru saja mempersoalkan ringan tangan sang pujaan memberikan secarik kertas berisikan semacam katebelece pencairan dana di Isbank untuk seorang perempuan yang baru mereka kenali. Saat itu, Ataturk bersama Rasyid dan penyerta lainnya tengah menikmati santapan di sebuah restoran dan pub milik perempuan asal Rusia. Sang pemilik berhasil memanfaatkan momentum dan meraih simpati Ataturk, hingga keluhan soal dana usahanya dikabulkan sang peruntuh kekhilafahan Ottoman. Sangat enteng, tanpa banyak pikir panjang Ataturk bertindak. Tapi di sinilah naluri dan nalar Rasyid berontak. Maka ia pun memprotes keras.

“Sesungguhnya memberi arahan kepada suatu bank agar memberi uang dalam jumlah cukup besar yang ditulis di atas secarik kertas robek dan tidak berbentuk serta diambil dari bawah kain penutup meja kemudian membubuhkan tanda tangan di atasnya, bukankah semua itu merupakan perbuatan sembrono dan tidak terpuji?” tanya Rasyid tanpa tedeng aling-aling.

Wajah Ataturk memerah seketika, sementara wajah seluruh orang yang ada di sekelilingnya berubah pucat. Demikianlah tertulis dalam karya Dhabith Tarki Sabiq, Ar-Rajul ash-Shanam, Kamal Ataturk. Karya amat penting ini diarabkan dari bahasa Turki dan terbit pada 2003 di Beirut. Karya ini jawaban atas buku yang sangat terkenal di Turki, karya pemuja Ataturk bernama Syaukat Tsurayya: Ar-Rajul al-Auhad. Bila Syaukat menyebut Ataturk sebagai “Manusia Tanpa Tandingan”, Dhabith memandangnya sebagai “Manusia Berhala”. Karya Dhabith pada 2008 diindonesiakan oleh Abdullah Abdurrahman dan Ja’far Shadiq.

“Aku mengambilnya dari rekeningku sendiri!” bantah Ataturk.

“Tidak bisa, harta itu bukan milikmu!” sergah Rasyid, tak mau kalah.

“Lalu harta siapa?” tanya Ataturk geram.

“Harta rakyat!” balas Rasyid. “Tuan juga tidak sepenuhnya berhak menggunakan harta yang ada di rekening atas nama Tuan dan memberikannya kepada siapa saja yang Tuan inginkan. Seharusnya Tuan mengangkat seorang pengawas yang bertugas mengawasi Tuan dalam hal ini.”

Dan amarah Ataturklah yang kemudian muncul. Sejurus kemudian ia dan rombongannya keluar dari restoran itu pergi menuju istana Dulamah Baghjah. Ataturk pergi dalam keadaan mabuk berat, demikian pula lawan debatnya barusan, Rasyid Ghalib. Dan di istana debat dua orang itu pun kembali berlangsung.

Gundah Rasyid soal “ringan tangan” Ataturk dalam urusan uang rakyat bukan tanpa alasan. Tidak hanya dalam kasus pemilik restoran, Ataturk  meminta pihak Isbank mencairkan bantuan cuma-cuma. Pernah pemilik surat kabar terbesar di Turki, al-Jumhurriyah, kesulitan dana segar untuk membayar beberapa mesin cetak yang baru diimpor dari Eropa. Tanpa ba-bi-bu, keluhan sang pemilik pada Ataturk berujung pengabulan.

Rasyid Ghalib memang mendapatkan tempat di hati Ataturk. Tapi perlawanan di restoran yang berlanjut di istana begitu mengesalkan Ataturk. Lebih-lebih pengusiran dari istana ketika malam debat itu seolah tidak dianggap Rasyid. Sebuah rencana pun disiapkan untuk membalaskan rasa sakit hati.

Ataturk memiliki satu perangai yang dikenal di kalangan intelektual. Ia akan tanyai mereka lewat pertanyaan mendasar, tapi semua jawaban kaum terpelajar itu dibantah dan disalahkannya. Intinya, ia ingin menghinakan para intelektual. Yang benar adalah versinya. Sejarawan penting masa itu seperti Ahmad Rafiq dipermalukan dengan pertanyaan sederhana, “Apakah itu sejarah?”

Ataturk tidak puas dengan semua jawaban dan penjelasan sang sejarawan, hingga kemudian tanpa diduga ia memerintahkan, “Naiklah ke atas meja lalu teriaklah dengan keras: ‘Innaniy himar (aku adalah keledai yang dungu)’!”

Tapi bagi intelektual yang tahu bagaimana arah dan tujuan pertanyaan Ataturk, maka yang dilontarkan adalah kata-kata penuh cari muka dan penyembahan. Hasan Ali Yucel, seorang pakar pendidikan di Turki ketika itu, termasuk yang menempuh jalan ini.

“Apakah perbedaan antara angka nol dan bilangan tak berhingga?” tanya Ataturk pada Hasan.

Alih-alih text book sebagaimana jawaban Ahmad Rafiq, Hasan enteng saja menjawab begini, “Itulah perbedaan yang ada antara saya dan Tuan.” Dan jawaban ini begitu memuaskan Atttaturk hingga Hasan pun ditunjuk sebagai wakil Dewan Rakyat.

Baca Juga


Balik lagi ke sosok Rasyid Ghalib. Dalam suatu pertemuan, diundanglah ia. Kali itu Rasyid menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Rasyid datang ke istana sudah menyadari posisinya. Ia merasa tidak enak hati mengingat kejadian berdebat dengan lelaki yang menahbiskan diri sebagai Ghazi. Perasaan itu mungkin semacam firasat.

Betul saja, tiba-tiba Ataturk memerintahkan pengawalnya untuk membawa keluar Rasyid. Dalam versi kesaksian yang lain, Rasyid diangkat para pengawal dan didudukkan di kursi dekat Ataturk. Tiba-tiba, Rasyid diturunkan dari kursi itu.

“Kembalikan lagi ke tempatnya semula!” titah Ataturk kepada para pengawal. “Doktor, seperti itulah kami. Kami mengangkat seseorang seperti itu dan menurunkannya seperti itu juga,” ujarnya pada Rasyid.

Atas kejadian itu, Dhabith berkesimpulan singkat, “Sesungguhnya Ataturk itu manusia yang sangat pengecut!”

Ataturk dikabarkan tidak berani berhadapan dengan Rasyid. Tapi ia tahu caranya menjatuhkan sang lawan. Sama halnya dengan para intelektual yang lain, Ataturk memilih untuk merontokkan wibawanya. Kali ini, taktik buat membalaskan sakit hati pada kelancangan Rasyid Ghalib adalah dengan menaikkannya sebagai menteri lalu menjatuhkannya pada saat tepat. Dan inilah yang kelak terjadi.

Rasyid Ghalib yang disebut-sebut sebagai orang pertama yang berani mengangkat kepala di hadapan Ataturk ketika semua orang dipaksa untuk menyembahnya. Sayang, wibawa Rasyid runtuh cepat kala ia menjabat di kementerian hingga berujung derita sakit dan kematian.

Keberanian Rasyid Ghalib adalah awalan yang baik. Ia jadi pembeda ketika banyak orang berilmu dipaksa meruntuhkan kewibawaan diri. Pilihan untuk tunduk atau menjilat dihadirkan dengan risiko di depan mata.

Sang Ghazi tidak sekadar otoriter, tapi juga bertindak bak Tuhan. Di saat itu, tidak banyak yang berani menentang. Memilih sadar untuk berbeda hanya berarti menyetor dera siksa atau malah justru nyawa.

Ataturk tahu betul dirinya sosok lemah. Ia hanya memiliki fantasi bagaimana membuang jauh citra kuno dan tertinggal dari setiap warisan sang khalifah. Ia inginkan sebuah tatanan baru ala Barat, yang diserapnya habis-habisan. Semua yang berbau ajaran keyakinannya (tentu saja: Islam) malah dicampakkan. Tidak jelas apakah ia masih beragama ataukah tidak. Atau jangan-jangan benarlah judul buku yang dituliskan Abdul Latip Talib, pengarang novel sejarah terkemuka dari Malaysia, bahwa Ataturk itu “Penegak Agenda Yahudi”.

Rasyid Ghalib sendiri hadir mewariskan satu ironi sekaligus tragedi tentang orang-orang pandai yang meniti di kancah kekuasaan. Ternyata ia memang belum selevel dengan Said Nursi, sang ulama terkemuka yang juga berani menasihati Ataturk akan kelancangannya merobohkan sendi Islam. Ternyata istiqamah pada zaman penguasa lalim menuhankan diri tidak cukup di awal. Keberanian yang ada tentu tidak ingin dibiarkan penguasa. Akan ada tekanan dari pelbagai penjuru untuk menghentikan keberanian sang alim.

Dan warna putih sampul Cagaptay seolah selarasi suasana mengasa: apa yang semestinya hari ini diperbuat Muslimin. Perbuat atas pelajaran di ujung jatuhnya Ottoman.


TENTANG PENULIS: Yusuf Maulana, Pemilik Pustaka Rumah di Samben, Bantul, DIY

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler