Perludem: PT Makin Tinggi, Politik Uang Lebih Masif

Ambang batas yang tinggi juga menimbulkan makin banyaknya suara sah terbuang.

Republika TV/Havid Al Vizki
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini (Republika TV/Havid Al Vizki)
Rep: Mimi Kartika Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, makin tinggi ambang batas parlemen atau parliamentary threshold, maka praktik politik uang lebih masif. Sebab, para peserta politik berlomba meraup banyak suara pemilih agar lolos ambang batas dengan jual beli suara.


"Dengan ambang batas yang tinggi, juga bisa memicu pragmatisme politik. Alih-alih mereka memperkuat ideologi dan kelembagaan partai, malah disikapi dengan mengambil jalan pintas dengan melakukan politik uang lebih masif," ujar Titi kepada Republika, Selasa (10/3).

Menurut dia, partai politik seperti Golkar dan Nasdem yang sepakat menaikkan ambang batas parlemen menjadi tujuh persen bertujuan menyederhanakan sistem kepartaian dan memperkuat kelembagaan partai politik. Padahal, untuk menyederhanakan sistem kepartaian tidak hanya bisa dilakukan dengan menaikkan ambang batas.

Titi mengatakan, ambang batas memang bisa secara cepat mengurangi jumlah partai yang bisa masuk parlemen, tetapi juga membawa dampak negatif terhadap penyelenggaraan pemilu. Makin tinggi ambang batas maka partai politik makin sulit mendapatkan kursi dan mengirim wakil-wakilnya duduk di Senayan.

Selain itu, akibat dari ambang batas yang makin tinggi bisa mengakibatkan pemilu makin disproporsional, sedangkan sistem pemilu Indonesia adalah proporsional terbuka. Dengan demikian, perolehan suara yang dimiliki partai tidak seimbang dengan perolehan kursinya ketika konversi suara menjadi kursi.

Tak hanya itu, ambang batas yang tinggi juga menimbulkan makin banyaknya suara sah terbuang (wasted votes). Para pemilih sudah memberikan hak suaranya, tetapi memilih partai politik yang kemudian tidak berhasil mendulang suara melewati ambang batas.

"Kalau makin besar angkanya dan makin banyak partai yang tidak bisa dikonversi suaranya menjadi kursi ini bisa berakibat pada ketidakpuasan politik, lalu membuat apatisme politik warga, atau bahkan bisa berdampak buruk mengakibatkan benturan dan konflik politik," kata Titi.

Menurutnya, ambang batas parlemen yang tinggi juga bisa mengakibatkan makin sulitnya perempuan duduk di parlemen karena partai politik yang mengusung mereka tidak lolos. Hal ini dialami politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yakni Grace Natalie dan Tsamara Amany pada Pileg 2019 lalu meskipun perolehan suara perseorangan mereka cukup tinggi, partainya tak mampu menembus parliamentary threshold.

Titi mengatakan, pemilu serentak antara legislatif dan eksekutif menjadi satu instrumen yang berimplikasi terhadap penyederhanaan partai politik melalui efek ekor jas (coattails effect). Penyederhanaan partai juga bisa dilakukan tanpa harus menaikkan ambang batas, seperti memperkecil besaran daerah pemilihan.

"Atau melalui pemberlakuan ambang batas pembentukan fraksi di parlemen. Jadi tidak perlu dibatasi untuk masuk parlemen namun untuk membuat konsentrasi di parlemen menjadi lebih sederhana," tutur Titi.

Maka, kata dia, ada pemberlakuan ambang batas perolehan kursi yang mereka harus penuhi ketika memasuki tahapan pembentukan fraksi di parlemen. Sehingga pengambilan keputusan di parlemen juga menjadi lebih sederhana.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler