Iran, China, dan Rusia Gelar Latihan Militer Bersama di Teluk Oman, Ini Respons Trump
Latihan militer bersama itu digelar tak lama usai Trump mengirim surat ke Khamenei.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengaku tak mengkhawatirkan latihan militer bersama Iran, China, dan Rusia di Teluk Oman pada akhir pekan lalu. Latihan militer itu digelar tak lama setelah Donald Trump mengirim surat kepada Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei sebagai upaya negosiasi program nuklir Iran.
Dikutip dari Just The News, Senin (11/3/2025), Trump mengkelaim tidak khawatir sama sekali atas latihan mliter bersama ketiga negara itu. Saat ditanya wartawan mengapa ia tidak khawatir, "Karena kami lebih kuat dari mereka semua, kami memiliki lebih banyak kekuatan dari mereka. Saya telah membangun ulang militer (AS), sayangnya Biden tak ada hubungannya dengan itu."
Sebelumnya, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei menolak upaya negosiasi Amerika Serikat (AS) terkait program nuklir Iran. Berbicara di hadapan sejumlah pejabat tinggi, Khamenei tidak spesifik menyebut AS, tapi mengatatakan, satu "pemerintahan perundung" ngotot untuk mendorong negosiasi.
"Negosiasi mereka tidak bertujuan untuk menyelesaikan masalah, tapi untuk ... mari bicara untuk menerapkan sanksi yang kami mau terhadap pihak lawan di meja perundingan," kata Khamenei dilaporkan CBS, Sabtu (8/3/2025).
Pernyataan Khamenei dilontarkan sehari setelah Presiden AS Donald Trump mengeklaim telah mengirim surat kepada Ayatollah dengan tujuan mencari kesepakatan baru dengan Teheran agar menghentikan program nuklir dan menggantikan kesepakatan yang pernah ditarik AS saat ia berkuasa pada periode pertama. Namun, seperti dilaporkan AFP, Iran mengatakan belum menerima surat Trump itu.
"Kami mendengar itu (surat Trump) tapi kami belum menerimanya," ujar Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi dikutip televisi nasional Iran.
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei telah memberi sinyal bahwa akan menolak pembicaraan baru dengan rival lamanya, Amerika Serikat, terkait kesepakatan nuklir baru. "Sejumlah pemerintah pemaksa bersikeras untuk bernegosiasi. Negosiasi semacam itu bukan bertujuan untuk menyelesaikan masalah. Tujuan mereka untuk memaksakan dominasi dan memaksakan apa yang mereka inginkan," kata Khamenei melalui media sosial X pada Sabtu (8/3/2025).
Khamenei turut menyampaikan hal serupa dalam pertemuan dengan pejabat tinggi pemerintahan dan militer di Teheran, menurut kantor berita milik negara IRNA.
"Bagi pemerintah yang memaksa, negosiasi adalah sarana untuk memaksakan tuntutan baru. Iran pasti tidak akan memenuhi tuntutan baru tersebut," ucapnya.
"Mereka mengajukan tuntutan baru terkait kemampuan pertahanan dan kemampuan internasional negara, menyuruh kami untuk tidak melakukan ini, tidak bertemu dengan orang itu, tidak pergi ke sana, tidak memproduksi ini, dan membatasi jangkauan rudal kami sampai batas tertentu,” katanya lagi di X.
“Bagaimana mungkin ada orang yang bisa menerima hal-hal seperti itu?,” sambungnya.
Menurut IRNA, Khamenei juga mengkritik pihak-pihak Eropa dalam kesepakatan nuklir karena menuduh Iran tidak memenuhi komitmennya berdasarkan perjanjian.
"Kalian mengatakan Iran tidak memenuhi komitmen nuklirnya. Baiklah, apakah kalian sudah memenuhi komitmen kalian?" katanya.
Ketua Parlemen Iran Mohammad-Baqer Qalibaf mengatakan Iran tidak akan menunggu surat apa pun dari Amerika Serikat untuk menghilangkan sanksi terhadap negara republik Islam tersebut. Qalibaf menyampaikan pernyataan tersebut pada awal sesi terbuka Parlemen, Ahad (9/3/2025), dua hari setelah Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa dia telah mengirim surat kepada Pemimpin Revolusi Islam Ayatollah Seyyed Ali Khamenei, yang menuntut agar perundingan dibuka kembali.
Trump menyampaikan pengumuman tersebut sebulan setelah dia ingin memulihkan "tekanan maksimum" terhadap Iran, yang awalnya dia luncurkan selama masa jabatan pertamanya sebagai presiden. Bagian dari kampanye tersebut ditujukan untuk menghentikan total ekspor minyak Iran.
Qalibaf mengatakan bahwa telah terbukti bagi bangsa Iran bahwa sanksi hanya dapat dinetralkan melalui penguatan Iran lebih lanjut, seraya menambahkan bahwa tidak ada perundingan yang akan mengarah pada pencabutan sanksi jika disertai dengan ancaman dan agenda untuk memberlakukan konsesi baru.
"Kami tidak menunggu surat apa pun dari AS, dan kami yakin bahwa, dengan menggunakan kapasitas dan peluang internal untuk mengembangkan hubungan luar negeri, kami dapat mencapai posisi yang membuat musuh tidak punya pilihan selain mencabut sanksi dalam kerangka negosiasi dengan pihak-pihak yang tersisa di JCPOA," katanya.
Qalibaf mengacu pada kesepakatan nuklir Iran, yang secara resmi bernama Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) yang ditinggalkan AS pada 2018 di bawah Trump. Dia menambahkan bahwa perilaku presiden AS dengan negara-negara lain menunjukkan bahwa tuntutannya untuk membuka kembali negosiasi hanyalah tindakan curang yang ditujukan untuk melucuti senjata Iran.