Pertama Kali dalam Sejarah, Simpati Rakyat Amerika Serikat untuk Israel Anjlok Parah

Survei ungkap rakyat AS semakin anti Israel dan berbalik pro Palestina

EPA-EFE/MICHAEL REYNOLDS
Demonstran pro-Palestina berunjuk rasa memprotes dukungan Amerika Serikat terhadap Israel dan mengutuk serangan Israel ke Gaza di luar Gedung Putih, Washington DC, Selasa (28/5/2024) waktu setempat. Serangan Israel di Gaza selatan yang menewaskan puluhan warga sipil Palestina mendapat kecaman luas. Pemerintahan Biden mengatakan pada 28 Mei bahwa serangan itu tidak melanggar peringatan Presiden AS Biden terhadap operasi militer besar-besaran di Rafah.
Rep: Fitrian Zamzami Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID,  WASHINGTON— Sebuah jajak pendapat baru telah mengungkapkan bahwa dukungan terhadap Israel di kalangan warga Amerika telah mencapai tingkat terendah dalam kurun waktu lebih dari 25 tahun terakhir, dengan kurang dari separuh warga Amerika yang menyatakan simpati terhadap negara tersebut.

Menurut lembaga jajak pendapat terkemuka Gallup, hanya 46 persen orang Amerika yang memiliki pandangan yang baik terhadap Israel, sebuah penurunan tajam dari 51 persen yang tercatat pada 2001, dan merupakan tingkat terendah sejak survei ini dimulai.

Sebaliknya, persentase pemilih Amerika Serikat yang menyatakan simpati kepada warga Palestina telah meningkat menjadi 33 persen, meningkat enam poin dari tahun sebelumnya. Ini merupakan tingkat simpati tertinggi terhadap warga Palestina yang tercatat dalam jajak pendapat hingga saat ini.

Survei yang dilakukan pada 3 hingga 16 Februari 2025 ini bertepatan dengan gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran tawanan antara Israel dan Hamas di Gaza, yang dimulai pada pertengahan Januari lalu.

BACA JUGA: Mengapa para Pembenci Membakar Alquran dan Justru yang Terjadi di Luar Dugaan?

Baca Juga


Jajak pendapat tersebut juga menemukan bahwa hanya 40 persen orang Amerika yang menyetujui penanganan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap kampanye militer Israel di Gaza, di mana setidaknya 61.709 orang Palestina telah terbunuh sejak 7 Oktober 2023.

Ketika ditanya tentang pemilih berdasarkan kecenderungan politik mereka, Partai Republik lebih cenderung memandang Israel secara positif, dengan 83 persen menyatakan dukungannya dibandingkan dengan hanya 33 persen dari Partai Demokrat.

Partai Demokrat menunjukkan simpati yang lebih besar terhadap Palestina, dengan 45 persen mendukung perjuangan mereka dibandingkan dengan hanya 18 persen dari Partai Republik.

Karikatur Opini Republika : Amerika Bela Israel - (Daan Yahya/Republika)

Dukungan terhadap Israel secara umum lebih tinggi di kalangan Partai Republik dan independen sejak 2001, namun Gallup melaporkan bahwa dukungan independen terhadap Israel kini turun ke tingkat terendah.

Partai Demokrat, yang secara historis juga mendukung Israel, telah bergeser sejak 2022, dengan banyak yang sekarang menyatakan simpati kepada warga Palestina.

Tren ini juga terlihat dari meningkatnya dukungan di kalangan Partai Demokrat terhadap negara Palestina yang merdeka.

Sekitar 76 persen anggota Partai Demokrat mendukung pembentukan negara tersebut, dibandingkan dengan 53 persen anggota Partai Independen dan hanya 41 persen anggota Partai Republik, di mana 49 persen di antaranya menentang gagasan tersebut.

Pemerintahan Biden telah menghadapi kritik atas kebijakan luar negerinya terhadap Israel, terutama terkait penjualan senjata.

Persetujuan pemerintahan sebelumnya terhadap kesepakatan senjata senilai 8 miliar dolar AS untuk Israel, meskipun Gaza masih menjadi sasaran serangan, telah memicu seruan embargo senjata terhadap Israel dari para pengunjuk rasa dan kelompok-kelompok advokasi.

Pada Agustus 2024, Amerika Serikat juga mengesahkan penjualan peralatan militer senilai 20 miliar dolar AS kepada Israel.

Sementara itu, rencana 'Riviera Timur Tengah' Trump yang kontroversial, yang mengusulkan pendudukan Gaza dan pemindahan paksa warga Palestina, telah dikecam secara luas. Sebagai tanggapan, para pemimpin Arab telah menggalang rencana alternatif untuk mendanai rekonstruksi Gaza melalui dana perwalian.

Namun, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menolak rencana yang dipimpin Mesir untuk Gaza, dengan menyatakan bahwa rencana tersebut tidak memenuhi ekspektasi yang ditetapkan oleh Trump.

BACA JUGA: Semua Pakar Sepakat Israel Kalah dalam Perang Gaza, tapi Mengapa? 

Pada Kamis pekan lalu, utusan Amerika Serikat untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, memperingatkan bahwa Amerika Serikat akan mendukung Israel dalam setiap tindakan yang diambilnya di Gaza jika perundingan gencatan senjata dengan Hamas gagal.

Sehari sebelumnya, pemerintahan Trump mengatakan bahwa mereka mengadakan pembicaraan dengan Hamas mengenai pemulangan tawanan Amerika Serikat yang masih ditahan di Jalur Gaza, yang melibatkan kelompok Palestina tersebut untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade.

Poin Kesepakatan Gencatan Senjata - (Republika)

 

Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump memuji penahanan mahasiswa Universitas Columbia Mahmoud Khalil atas aktivisme pro-Palestina. Dia menjanjikan akan lebih banyak melakukan penangkapan serupa.

Dalam unggahan media sosialnya, Trump menggambarkan Khalil sebagai “Mahasiswa Asing Radikal Pro-Hamas”.

“Ini adalah penangkapan pertama dari banyak penangkapan berikutnya. Kami tahu ada lebih banyak mahasiswa di Columbia dan Universitas lain di seluruh Amerika yang terlibat dalam aktivitas pro-teroris, anti-Semit, anti-Amerika, dan Pemerintahan Trump tidak akan menoleransi hal itu,” kata dia.

“Banyak yang bukan pelajar, mereka adalah agitator yang dibayar. Kami akan menemukan, menangkap, dan mendeportasi simpatisan teroris ini dari negara kami – dan tidak akan pernah kembali lagi.”

Merujuk Aljazirah, tidak ada bukti yang mendukung klaim “agitator bayaran” selama protes pro-Palestina yang melanda kampus-kampus Amerika Serikat tahun lalu. Khalil adalah penduduk tetap yang sah. Penangkapannya telah meningkatkan kekhawatiran atas pelanggaran kebebasan berpendapat untuk melindungi Israel dari kritik di Amerika Serikat.

Kelompok Yahudi progresif Amerika Serikat IfNotNow mengecam penahanan mahasiswa Palestina itu. Mereka memperingatkan bahwa penahanan oleh otoritas imigrasi terhadap Mahmoud Khalil dapat menandakan tindakan keras yang lebih luas yang dilakukan pemerintahan Trump terhadap hak-hak sipil.

“Serangan ini, yang paling menargetkan pelajar Palestina dan pembela hak-hak Palestina, juga memungkinkan konsolidasi kekuasaan otoriter Trump terhadap lawan-lawan politiknya,” kata kelompok yang dipimpin oleh pemuda tersebut.

“Sangat tercela bahwa mereka melakukan tindakan otoriter dengan kedok memperjuangkan keselamatan orang Yahudi. Mari kita perjelas: penghancuran pendidikan tinggi dan penculikan mahasiswa untuk pidato politik tidak hanya tidak membuat orang-orang Yahudi tetap aman, tetapi juga secara aktif membahayakan kita.”

BACA JUGA: Tumben Israel Mau Gencatan Senjata Ramadhan, Ternyata Ini ‘Udangnya’ yang Ditolak Hamas
 

Anggota Kongres Amerika Serikat dari Partai Demokrat mengutuk penangkapan mahasiswa dan aktivis Universitas Columbia Mahmoud Khalil oleh petugas imigrasi. Dalam postingannya di X, Omar menyebut penahanan Khalil, seorang penduduk tetap AS asal Palestina yang dilakukan ICE, “benar-benar keterlaluan” dan “tidak Amerika”.

“Penghilangan paksa Mahmoud Khalil hanya karena pidatonya yang dilindungi konstitusi merupakan serangan yang jelas terhadap hak amandemen pertama dan tindakan otoritarianisme yang terang-terangan,” tulis Omar. “Khalil harus dibebaskan.”

Sedangkan kelompok Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) mengatakan tindakan keras terhadap aktivis hak-hak Palestina di kampus-kampus AS menunjukkan “wajah fasis yang sebenarnya” dari pemerintahan Trump. Kelompok sayap kiri Palestina menyebut upaya Trump untuk menahan dan mendeportasi aktivis mahasiswa sebagai “kampanye penindasan sistematis”.

“Kami menekankan bahwa perilaku represif ini tidak akan membuat takut orang-orang yang bebas, juga tidak akan menghentikan suara-suara berani untuk terus mendukung perjuangan Palestina,” kata PFLP dalam sebuah pernyataan.

Mahmoud Khalil sedang berada di dalam kediaman milik universitasnya pada Sabtu malam di dekat kampus Columbia di Manhattan ketika beberapa agen Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai memasuki gedung dan menahannya, kata pengacaranya, Amy Greer, kepada The Associated Press.

Greer mengatakan dia berbicara melalui telepon dengan salah satu agen ICE selama penangkapan, yang mengatakan mereka bertindak atas perintah Departemen Luar Negeri untuk mencabut visa pelajar Khalil. Diberitahu oleh pengacara bahwa Khalil berada di Amerika Serikat sebagai penduduk tetap dengan kartu hijau, agen tersebut mengatakan mereka juga akan mencabutnya, menurut pengacara.

Penangkapan tersebut tampaknya merupakan salah satu tindakan pertama yang diketahui berdasarkan janji Presiden Donald Trump untuk mendeportasi mahasiswa internasional yang bergabung dalam protes menentang perang Israel di Gaza yang melanda kampus-kampus musim semi lalu. Pemerintahannya mengklaim para peserta kehilangan hak mereka untuk tetap tinggal di negara tersebut karena mendukung Hamas.

Khalil berperan sebagai negosiator bagi mahasiswa saat mereka melakukan tawar-menawar dengan pejabat universitas mengenai penghentian tenda perkemahan yang didirikan di kampus, sebuah peran yang menjadikannya salah satu dari sedikit aktivis mahasiswa yang bersedia menyebutkan nama dan identitasnya.

Pihak berwenang menolak memberi tahu istri Khalil, yang sedang hamil delapan bulan, apakah dia dituduh melakukan kejahatan, kata Greer. Khalil telah dipindahkan ke fasilitas penahanan imigrasi di Elizabeth, New Jersey.

“Kami belum bisa mendapatkan rincian lebih lanjut tentang alasan dia ditahan,” kata Greer kepada AP. “Ini jelas merupakan eskalasi. Pemerintah sedang menindaklanjuti ancamannya.” 

Sumber: newarab 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler