Kenali Jenis-Jenis Nikah yang Dilarang Islam

Ada sejumlah jenis pernikahan yang dilarang Islam.

Republika/Prayogi
Kenali Jenis-Jenis Nikah yang Dilarang Islam. Foto: Pernikahan Ilustrasi(Republika/Prayogi)
Rep: Imas Damayanti Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Islam mengatur dan memerinci aspek kehidupan manusia, mulai dari hal kecil hingga hal yang strategis seperti pernikahan. Meski nikah digolongkan sebagai bagian dari sunah Nabi Muhammad SAW, namun umat Muslim perlu mengenali jenis-jenis pernikahan yang dilarang oleh agama.

Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjabarkan, terdapat empat jenis pernikahan yang secara tegas dilarang oleh agama. Yakni antara lain nikah syighar, nikah mut’ah, meminang atas pinangan orang lain, dan nikah muhallil.

Para ulama-ulama madzhab sepakat, nikah syighar atau nikahnya wali yang menikahkan gadis yang harusnya dinikahi kepada seorang pria tanpa mahar. Dengan bahasa mudahnya, nikah syighar itu adalah nikahnya seorang wali dengan seorang wanita yang berada dalam perwaliannya.

Nikah jenis ini dilarang dalam agama dan para ulama madzhab menyandarkan argumentasi tersebut berdasarkan hadis shahih. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dan yang artinya sebagai berikut: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah SAW melarang nikah syighar,”.

Namun demikian, para ulama tersebut berselisih pendapat mengenai hal lain yang berkaitan dengan perkara ini. Misalnya, apabila terjadi pernikahan syighar, apakah pernikahan tersebut dapat disahkan dengan memberikan mahar mitsil atau tidak?

Baca Juga


Para ulama kalangan madzhab Malik berpendapat, hukum pernikahan tersebut tetap tidak bisa dan harus dibatalkan baik sesudah atau sebelum dukhul (berhubungan intim).

Sedangkan ulama dari kalangan madzhab Syafi’i berpendapat serupa. Namun demikian menurut pandangan ulama-ulama garis ini, jika salah seorang pengantin atau keduanya sekaligus disebutkan ada mas kawin, maka pernikahannya dianggap sah dengan mahar mitsil.

Adapun menurut ulama kalangan madzhab Imam Abu Hanifah berpendapat, nikah syighar sah dengan memberikan mahar mitsil. Silang pendapat ini karena adanya persoalan apakah larangan yang terkait dengan masalah itu dapat dijelaskan alasannya karena tidak adanya ganti atau tidak.

Adapun nikah mut’ah alias nikah kontrak, juga mendapat porsi hukum yang sama di kalangan ulama madzhab. Mereka sepakat bahwa nikah kontrak dilarang dalam agama. Perihal nikah mut’ah, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa seluruh ulama madzhab mengaramkannya.

Sebab terdapat beberapa hadis mutawatir dari Rasulullah SAW yang mengharamkannya, namun demikian hal itu diperselisihkan tentang waktu keluarnya larangan. Disebutkan dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW melarang praktik nikah mut’ah ini dalam peristiwa penakhlukkan Kota Makkah.

Dalam faktanya, nikah mut’ah hingga kini masih kerap dipraktikan oleh kalangan tertentu. Sayangnya, praktik nikah mut’ah itu kerap kali membawa-bawa nama agama Islam sebagai rujukan dasar hukum adanya pernikahan tersebut.

Padahal jika ditelisik lebih jauh, hadirnya nikah mut’ah ini secara tegas dan meyakinkan telah dilarang Rasulullah SAW. Dan tak hanya itu, para ulama-ulama madzhab pun sepakat menghukuminya sebagai pernikahan yang dilarang. Semoga Allah menjauhkan kita dari praktik pernikahan semacam itu.

Pernikahan selanjutnya yang diharamkan dalam agama adalah pernikahan atas pinangan orang lain. Dalam kasus ini, para ulama membaginya ke dalam tiga aspek hukum.
Pertama, pernikahan tersebut batal. Kedua, pernikahannya tidak batal. Dan ketiga, dibedakan apakah pinangan yang kedua dilakukan sesudah adanya kecenderungan dan mendekati pemufakatan atau tidak. Aspek ketiga ini merupakan penjabaran dari pandangan Imam Malik.

Sedangkan pernikahan selanjutnya yang diharamkan adalah nikah muhallil atau nikah untuk menghalalkan mantan istri yang telah ditalak ba’in. Menurut pendapat ulama madzhab Imam Malik, nikah semacam ini hukumnya batal. Sedangkan menurut madzhab Imam Abu Hanifah dan madzhab Imam Syafi’i, nikah ini sah.

Namun demikian, ulama madzhab Syafi’i meletakkan syarat dalam bolehnya nikah tersebut. Adapun adanya perselisihan pendapat para ulama ini disebabkan adanya perselisihan pemaknaan hadis Rasulullah SAW.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler