Ottoman dan Awal Terbentuknya Lembaga Fatwa dalam Sejarah
Formalisasi lembaga fatwa pertama kali pada era Ottoman.
REPUBLIKA.CO.ID, Kebutuhan tentang lembaga otoritatif fatwa setelah era awal Islam, terus mengemuka. Jika awal Islam pada masa Rasulullah, persoalan fatwa langsung merujuk kepada beliau, era khalifah dan dinasti langsung ke personal ulama, pada era berikutnya, fatwa kian dilembagakan.
Pada awal abad ke-11 di era Kekhalifahan Turki Utsmani, terdapat sebuah kantor publik mufti yang diikutsertakan dalam ifta' (tindakan menghasilkan fatwa).
Kemudian muncul istilah Syekh Al Islam di Kota Khurasan. Istilah tersebut ditujukan kepada pimpinan ulama setempat yang berperan sebagai kepala para mufti.
Di bawah kekuasaan Dinasti Mamluk, seorang mufti dari setiap mazhab dilibatkan dalam proses pertimbangan pengadilan di ibu kota provinsi. Inilah kali pertama mufti ikut serta dalam lembaga negara.
Masih di era Kekhalifahan Turki Utsmani, tepatnya di masa pemerintahan Sultan Murad II (1421-1444, 1446-1451), istilah Syekh Al Islam digunakan secara resmi oleh negara.
Sultan menobatkan Syekh Al Islam menjadi pejabat tinggi, yakni kepala mufti kerajaan. Ia menetapkan seorang mufti di setiap kota kemudian menggabungkan mereka dalam sistem birokrasi serta mengorganisasi ifta' sebagai prosedur rutin negara.
Paul Rycaut dalam bukunya "The Present State of The Ottoman Empire" menyebutkan, Syekh Al Islam diangkat sultan, namun tak menjadi bagian dari pengadilan negara. Mufti tak berhubungan dengan kehakiman, tetapi memutuskan perkara yang ditanyakan kepada mereka. Setiap keputusan yang dikeluarkan Syekh Al Islam dicatat dan dijaga Fatwa Emini di sebuah kantor khusus pencatatan.
Meski di era Murad II telah terbentuk lembaga fatwa, para mufti belum sepenuhnya berstatus formal. Hingga di masa Khalifah Sulaiman (1520-1566), jabatan mufti tak lagi merupakan tugas sampingan seorang ulama.
Jabatan mufti menjadi sepenuhnya formal di bawah kekhalifahan. Khalifah Sulaiman kemudian menetapkan mufti Istanbul sebagai Syekh Al Islam dan menobatkannya sebagai kepala agama yang memimpin seluruh Kekhalifahan Turki Utsmani.
Sultan Sulaiman benar-benar memberi hak yang besar kepada mufti. Dengan kekuasaan memimpin agama kekhalifahan, mufti bahkan diizinkan mengeluarkan fatwa sanksi politik, sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.
Segala kebijakan Sultan pun sangat bergantung pada fatwa Syekh Al Islam. Syekh Al Islam pun hanya dapat diangkat dan diberhentikan oleh Sultan. Namun, dalam mengeksekusi hukuman, otoritas tetap dipegang qadhi atau hakim negara yang bersifat umum.
Berangkat dari Turki Utsmani, kelembagaan mufti dalam negara pun kemudian berkembang ke dunia Islam lain. Di Kesultanan Mughal India, terdapat kepala agama layaknya Syekh Al Islam.
Di wilayah Kesultanan Mughal, sebutannya adalah Sadr Al Sudur. Kemudian di Persia, pada masa kekuasaan Dinasti Safawi, Syekh Al Islam berperan sebagai mufti agung sekaligus kepala hierarki agama.