COVID-19 di Italia: Solidaritas di Tengah Pandemi
Warga Italia menggambarkan situasi sekarang seperti masa perang.
Di Pigneto, sebuah kawasan yang sedang naik daun di Roma, Italia, ada dua kelompok masyarakat yang hidup saling berdampingan namun jarang berbaur.
Ada kelompok masyarakat yang tinggal di rumah-rumah dewan kota yang dibangun sejak berabad-abad lalu. Mereka biasanya bersosialisasi di bar-bar lokal atau membaca koran di bangku-bangku area pejalan kaki. Saat virus corona mulai menyebar dari utara Italia ke seantero negeri, mereka jadi yang pertama kali ‘menghilang’ dari pandangan mata ketika pemerintah menyarankan warga lanjut usia untuk tetap tinggal di dalam rumah.
Kemudian ada juga kelompok lain yang terdiri dari seniman-seniman muda, pekerja kreatif dan para pekerja lepas. Mereka biasanya memenuhi kafe-kafe dan bar. Awalnya, mereka berusaha menjalani hidup dengan normal saat Italia tengah berjuang menyatakan betapa pentingnya menghentikan semua kontak sosial. Namun pada akhirnya, penguncian ketat diberlakukan pada Rabu lalu, dengan menutup semua toko dan layanan yang tidak penting.
Meskipun secara fisik mereka terpisah satu sama lain, wabah ini tampaknya punya andil mendekatkan dua kelompk tersebut yang kini tinggal di negara terdampak COVID-19 paling parah di Eropa.
Para relawan beraksi
Anak-anak muda berusia antara 25 dan 30 tahun dari sebuah asosiasi budaya lokal bernama Sparwasser, membentuk sebuah inisiatif untuk membantu warga lanjut usia dengan urusan belanja dan tugas lainnya.
Warga lansia menjadi kelompok masyarakat yang menjalani aturan isolasi diri paling ketat akibat COVID-19.
“Kami meluncurkan seruan untuk memanggil sukarelawan di lingkungan ini sebelum penutupan diberlakukan,” kata Diana Armento, salah satu koordinator proyek ini.
“Hanya dalam tiga hari, lebih dari 200 orang telah mendaftarkan diri. Kami awalnya hanya menerima 4 atau 5 panggilan dalam sehari namun kini telah meningkat menjadi 20 lebih,” tambah Diana yang bekerja untuk sebuah rumah penerbitan.
Dia menjelaskan bahwa relawan biasanya akan dipasangkan dengan orang tua yang tinggal berdekatan dengan rumah mereka. Hal ini dilakukan agar mereka dapat melacak pergerakan para lansia jika terjadi penularan, dan memastikan agar relawan tidak perlu melakukan perjalanan terlalu jauh untuk mengantarkan belanjaan.
“Kami juga berusaha menjaga kebiasaan para lansia yang kami bantu, misalnya dengan pergi ke supermarket kesukaan mereka, atau menanyakan merek apa yang mereka gemari,” kata Diana.
Tidak ada kontak fisik antara para relawan dan para lansia yang mereka bantu, karena barang belanjaan dan sisa uang kembalian akan diletakkan di depan pintu rumah.
“Banyak dari mereka yang benar-benar ingin melihat wajah Anda, mereka berharap bisa memeluk Anda. Sebagai gantinya, mereka akan keluar ke atas balkon,” kata Diana.
Kesepian dan kebingungan
Ada kebutuhan mendasar bagi para lansia untuk bisa berkomunikasi, kata Diana.
“Di telepon, Anda dapat merasakan bahwa mereka benar-benar ingin mengobrol. Mereka menghabiskan waktu menonton televisi sepanjang hari. Mereka antara takut atau tidak percaya dengan apa yang terjadi. Saya kenal seorang wanita tua yang menghabiskan waktunya dengan berdoa, berpikir bahwa itu (wabah COVID-19) adalah hukuman dari Tuhan.”
Kelompok-kelompok relawan di kota lain juga telah mendirikan inisiatif serupa.
“Ada kebutuhan yang sangat besar, dan pemerintah setempat jika bekerja sendiri tidak dapat memenuhinya secara memadai,” kata Alberto Campailla, yang mengepalai sebuah asosiasi untuk membantu masyarakat miskin dengan memberikan bantuan hukum dan kebutuhan pokok, termasuk akses ke lokasi-lokasi penyimpanan makanan.
Relawan dari asosiasi yang ia pimpin sekarang telah mengantarkan makanan ke Ciampino, di pinggiran Roma, sembari mencari cara untuk mendistribusikan makanan melalui pengiriman ke rumah.
Bergandeng tangan lewati krisis
Beberapa otoritas lokal di ibu kota telah membuka saluran telepon dan grup Facebook sebagai wadah warga untuk menemukan inisiatif lokal serupa.
Di Biccari, sebuah kota kecil di wilayah Puglia di Italia selatan, 2.800 orang biasanya hidup dalam kontak dekat. Anak-anak bermain di alun-alun kota, para orang tua duduk di luar bar-bar setempat, dan orang yang berlalu-lalang, kadang mampir untuk berbicara dengan pemilik toko.
"Ada rasa komunitas yang kuat di sini," kata Gianfilippo Mignogna, Wali Kota Biccari. "Setiap pertemuan seharusnya menjadi kesempatan untuk menyapa, namun hambatan karena pembatasan kontak sangat terasa."
Kota ini telah menyiapkan nomor telepon bagi para lansia untuk dihubungi apabila mereka membutuhkan bantuan untuk belanja kebutuhan pokok, obat-obatan dan keperluan lainnya. Awalnya, layanan ini dimulai oleh 200 warga lokal yang saling bekerja sama, namun kini telah didukung oleh pemerintah kota. (gtp/ae)