Benarkah Klorokuin Bisa Melawan Virus Corona?

Dipadukan dengan antibiotik, klorokuin dipakai untuk melawan infeksi virus corona.

EPA
Pekerja di pabrik di Kota Nantong, Jiangsu, China, mengecek produksi obat klorokuin. Dipadukan dengan antibiotik, klorokuin dipakai untuk melawan infeksi virus corona.
Rep: Desy Susilawati Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Klorokuin yang dikenal sebagai obat malaria kini dipakai untuk melawan Covid-19. Selain klorokuin, antibiotik azitromisin juga banyak digunakan. Benarkah kedua obat ini bermanfaat?

Menurut para dokter dan ilmuwan, obat malaria ini tidak terbukti melawan virus corona, bahkan bisa membawa risiko efek samping sendiri. Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus memperingatkan, obat-obatan yang tidak diuji dapat memberikan harapan palsu dan menyebabkan kekurangan perawatan terbukti yang diperlukan untuk penyakit lain.

Baca Juga


Selain untuk malaria, kedua obat ini digunakan untuk mengobati reumatoid artritis dan lupus. Direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular, Anthony Fauci, mencatat informasi tentang obat malaria yang dikombinasikan dengan antibiotik tetap "anekdotal" dan perlu dievaluasi dalam studi klinis.

Raymond Woosley, seorang dokter medis dan farmakologis, melacak keamanan obat tersebut. Keduanya masuk dalam kelompok obat yang disebut dapat menyebabkan perubahan jantung yang halus dan meningkatkan risiko seseorang terkena aritmia.

Woosley mendesak dokter untuk menyadari risiko dan menggunakan elektrokardiogram untuk menyaring pasien dengan tanda-tanda yang mungkin mengungkapkan risiko seseorang mengalami gangguan jantung. "Masalah irama jantung terdeteksi melalui bagian dari elektrokardiogram yang disebut interval QT," kata Woosley, ketua AZCERT.

Meskipun jarang terjadi, orang dapat pingsan atau bahkan kehilangan nyawa karena kelainan yang disebabkan oleh obat ini. "Kami jelas tidak ingin membahayakan orang dengan menggunakan obat-obatan yang mengetahui efek samping dengan cara yang kami tahu berbahaya," ujarnya seperti dilansir dari laman USA Today, Rabu (25/3).

Di luar potensi gangguan jantung, beberapa pasien tampaknya melangkahi dokter dan menggunakan obat malaria sendiri sebagai serangan pendahuluan terhadap Covid-19, yang tidak memiliki vaksin atau terapi yang terbukti. Di Phoenix, Amerika Serikat, pasangan berusia 60-an meminum klorokuin fosfat, yang biasa digunakan untuk membersihkan tangki akuarium.

Pria tak dikenal itu meninggal, sementara wanita itu dalam kondisi kritis Senin malam di Rumah Sakit Banner Health. Direktur Medis Banner Poison and Drug Information Center, Daniel Brooks, mengatakan, orang-orang berusaha menemukan cara untuk mencegah Covid-19, tetapi mengobati sendiri bukanlah cara yang tepat.

"Hal terakhir yang kami inginkan saat ini adalah membanjiri departemen gawat darurat kami dengan pasien yang percaya mereka menemukan solusi yang kabur dan berisiko yang berpotensi membahayakan kesehatan mereka," katanya.

Ahli toksikologi medis dengan pusat racun Banner dan Pusat Medis Universitas-Banner, Will Heise, mengatakan bahwa penggunaan obat malaria plus antibiotik akan membahayakan. Heise tidak tahu bagaimana pasangan Phoenix tersebut memperoleh klorokuin fosfat.

Di lain sisi, Heise mengatakan, versi obat itu digunakan di akuarium dan tangki air asin. Jika obat menjadi lebih banyak tersedia, ia takut anak-anak bahkan orang dewasa mungkin menelan dosis berbahaya. "Akan sangat berbahaya kalau obat ini tersedia secara luas," kata Heise.

Studi Perancis mengevaluasi 26 orang yang menerima hydroxychloroquine sebagai pengobatan eksperimental untuk Covid-19. Enam orang menerima kombinasi obat malaria dan azitromisin antibiotik.

Penelitian melaporkan viral load, yang diukur dengan usap hidung, lebih rendah pada pasien yang menerima obat malaria. Sementara itu, enam orang yang menerima kedua obat dinyatakan bersih.

Dari enam yang dikeluarkan dari penelitian, tiga dipindahkan ke unit perawatan intensif rumah sakit, satu meninggal, satu berhenti minum obat karena mual, dan satu memutuskan untuk meninggalkan rumah sakit. Woosley mengatakan, sulit untuk mengevaluasi hasil karena desain penelitian, jumlah pasien yang keluar, dan kurangnya informasi tentang efek samping.

"Itu belum teruji secara ilmiah. Itu anekdotal. Itu petunjuk bahwa seseorang perlu melakukan studi yang tepat."

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler