Kumpul-Kumpul, Warga AS Kena Quarantine Shaming

"Quarantine shaming" menavigasi norma baru kehidupan sosial warga AS secara radikal.

AP Photo/Sue Ogrocki
Bandara Will Rogers World Airport, Kota Oklahoma, Amerika Serikat (AS) sepi. Orang yang berkerumun kini rentan terkena quarantine shaming.
Rep: Rahma Sulistya Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Kamar Dagang Asia di Arizona, Amerika Serikat. Ryan Winkle, mengira tak masalah kalau di saat seperti ini dia masih mengajak beberapa rekan makan malam sederhana bersama di salah satu restoran lokal. Ia pikir, itu akan bagus untuk meningkatkan bisnis dan menyatukan para pemimpin lain agar membahas bantuan bagi restoran Asia-Amerika yang hancur karena virus corona.

Winkle kemudian mengunggah pertemuan skala kecil itu di Instagram. Ia tak menyangka, postingan tersebut cepat direspons oleh warganet. Alih-alih menuai pujian atas niat baiknya, Winkle justru dianggap mempromosikan kumpul-kumpul di saat Covid-19 berkecamuk dan seluruh kota didesak untuk mengisolasi diri.

"Saya mulai mendapatkan beberapa pesan yang mengatakan, "Hei, mengapa Anda mencoba menyebarkan virus?"," kata Winkle soal acara makan malam di Mesa, Arizona, pada Sabtu lalu.

Baca Juga


Winkle tak habis pikir. Ia menjelaskan bahwa itu hanyalah acara kecil dan semua orang telah mencuci tangan mereka, dan mereka memiliki cairan pembersih tangan di atas meja.

"Pemikiran saya selalu tentang ekonomi. Bayangkan ketika semua bisnis ini tutup. Itu masalah yang sangat berbeda," ujar Winkle.

Quarantine shaming menjadi istilah yang mewakili kecaman kepada mereka yang tidak mematuhi aturan social distancing, menjaga jarak ketika berinteraksi sosial. Ini adalah bagian dari realitas baru dan mengejutkan bagi warga Amerika yang harus menavigasi dunia dengan norma sosial yang berkembang pesat di zaman Covid-19.

Ketika sekolah-sekolah tutup dan tempat penampungan dibersihkan, kesenjangan antara mereka yang secara ketat mempraktikkan isolasi diri dan mereka yang masih berusaha menjalani kehidupan normal terlihat sangat jelas. Yang sekarang menjadi masalah adalah apa yang dapat diterima secara sosial 48 jam yang lalu, sekarang mungkin dianggap tabu. Itu Karena pemerintah berlomba untuk menahan virus dengan lingkaran isolasi sosial yang terus berkembang.

“Matriks waktu tampaknya bergeser. Saya tidak pernah tahu beberapa hari berlalu begitu lambat dan menyaksikan hati nurani bergerak lebih dan lebih dalam satu arah hari demi hari," kata Paula Flakser yang kehilangan pekerjaannya sebagai bartender di salah satu resor ski Gunung Mammoth California, yang tutup pekan ini.

Bagi mereka yang harus pergi bekerja, kesenjangannya juga melebar. Steve Diehl yang dianggap memegang jabatan penting di salah satu gudang dekat Chicago harus mengenakan masker untuk bekerja karena salah seorang anggota keluarganya memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah. Dia takut tertular virus corona dan menyebarkannya ke orang yang dicintainya di rumah.

Diehl memasang tanda di pintu masuk gudang, meminta orang-orang untuk mengenakan masker yang disediakan untuk melindungi keluarga yang memiliki kekebalan tubuh lemah. Namun, beberapa rekan kerjanya ada yang tidak memakai masker. Salah satu dari mereka terbatuk di tangannya sambil berdiri di dekat meja Diehl dan kemudian mulai menyentuh benda-benda di atas mejanya dengan tangan yang sama.

"Itu membuat saya sangat marah. Tetapi, ketika aku berkomentar tentang itu, mereka mengabaikannya," kata Diehl, yang mengunggah ke Twitter foto dirinya dengan masker.

Yang lain mencoba beradaptasi dengan kerja dari rumah sambil merawat anak-anak yang juga di rumah, membuat mereka sedikit terhindar dari rekan kerja, teman, dan bahkan keluarga. Apakah boleh untuk minum kopi? Bisakah mengizinkan anak-anak pergi ke taman bermain? Bagaimana dengan mengirim anak-anak ke pusat penitipan anak, yang tetap menjadi satu-satunya jalur kehidupan di banyak negara bagian yang telah menutup sekolah?

Flakser mengatakan, ia kesal oleh ratusan orang yang berbondong-bondong dari Los Angeles dan juga mereka yang dari kota-kota besar lainnya, datang ke kampung halamannya yang kecil di Bishop, Kalifornia, untuk berlibur ketika sekolah-sekolah tutup. Pendaki berusia 42 tahun itu mengunggah di Facebook tentang pesan kemarahan karena banyak kerumunan di tempatnya.

Begitu banyak orang turun di tempat pendakian bernama Happy Boulders selama akhir pekan, sehingga barisan orang berjalan ke ngarai sempit. Rute untuk mencapai puncak berarti puluhan orang meraih pegangan yang sama di batu berulang-ulang dan tentu ini berpotensi menyebarkan kuman.

"Ketika orang-orang dari daerah perkotaan melarikan diri, mereka melarikan diri ke daerah-daerah rentan yang memiliki sumber daya medis yang sangat terbatas, dan rasanya sangat egois. Rasanya seolah mereka punya hak khusus untuk datang dan mengetuk pintu kami," kata dia dalam sebuah wawancara.

Pada Rabu (25/3) hari ini, orang mulai mereda mungkin dikarenakan beberapa artikel dan postingan media sosial. Tetapi yang menjadi barometer adalah tetap ketika akhir pekan.

Kekhawatiran Flakser menggerakkan orang-orang yang mengecam para penggemar Hari St Patrick (hari dimana mereka membanjiri bar-bar di Chicago dan New Orleans), di mana merekalah yang memanggil mahasiswa untuk memadati pantai untuk liburan musim semi. Sebuah video Instagram dari ratusan penggemar pesta yang dikemas dalam "booze cruise" di Bahama, menarik komentar yang menyerukan boikot perusahaan yang mengelolanya.

Beberapa reaksi daring yang kuat terhadap pelanggaran kerumunan ini berasal dari fakta bahwa pihak berwenang akan kesulitan untuk menegakkan aturan baru. Mereka sulit mengandalkan kekompakan sosial untuk menjaga keamanan semua orang.

Di Oregon, misalnya, restoran yang terus menawarkan layanan makan malam hanya diberikan pelanggaran ringan tingkat rendah, padahal sanksi sosial akan jauh lebih efektif. Pemilik Tracey's Original Irish Channel Bar di New Orleans, Jeff Carreras, mengatakan bahwa ia menghadapi kritik pedas karena terlihat banyak orang berkumpul di luar barnya pada Sabtu lalu.

Orang-orang di Facebook menuduhnya mengeruk uang dengan mengabaikan peringatan yang diinstruksikan tentang bahaya orang banyak selama wabah Covid-19. Salah satu poster, Claire Hassig mengatakan, di halaman bar ada ibunya yang berusia 70 tahun harus berjalan kaki untuk sampai ke mobilnya dan dikerumuni oleh orang-orang idiot yang mabuk dengan tidak menghargai aturan social distancing atau keselamatannya.

Carreras mengatakan, ia menjaga kerumunan tetap berada di dalam dengan kapasitas kurang dari 250 orang dan tidak membuka bar seperti biasa, tetapi kerumunan tetap terbentuk. Pihak bar juga yang meminta polisi untuk membubarkan kerumunan itu, ketika stafnya tidak bisa melakukannya.

"Tidak mungkin saya membujuk atau mendorong masyarakat untuk keluar dan menyebarkan virus yang seburuk itu. Kami melakukan semua prosedur yang diinstruksikan," kata dia.

Kembali ke Winkle, dia akhirnya mempertimbangkan lagi ucapannya kembali dan mulai memikirkan social distancing sejak acara akhir pekan itu. Akhirnya Mesa pun memberlakukan larangan makan malam di restoran dan bar pada Selasa.

"Aku mengerti dan memahami apa alasan orang mengecam pertemuan kemarin. Aku benar-benar membawanya ke hati dan berpikir mungkin sudah waktunya untuk mulai memperlambat segalanya," kata dia.



Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler