Mungkinkah Pandemi Covid-19 Mereda di Musim Panas?

Pandemi Covid-19 saat ini masih menjadi tantangan di 196 negara.

www.freepik.com
Virus corona (ilustrasi). Pandemi Covid-19 yang saat ini masih menjadi tantangan di 196 negara disebut mungkin saja reda pada musim panas.
Rep: Adysha Citra Ramadani Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak pertama kali muncul pada Desember 2019, kasus Covid-19 tampak mengalami penyebaran yang cukup cepat. Hingga 25 Maret 2020, laman www.worldometers.info/coronavirus/ mencatat sudah ada total 440.359 kasus Covid-19 di 196 negara dengan 19.753 kematian dan 112.032 kesembuhan.

Sebagian peneliti menilai penyebaran kasus Covid-19 akan menurun di musim panas. Benarkah?

Baca Juga



Dr Anthony Fauci dari National Institutes of Health mengungkapkan bahwa kasus flu musiman mulai mengalami penurunan setiap kali musim semi datang dan "menghilang" di musim panas. Fauci menilai , hal yang sama juga mungkin saja terjadi pada kasus Covid-19 yang disebabkan oleh virus corona baru bernama SARS-CoV-2.

"Saya berharap, seiring dengan semakin dekatnya kita terhadap cuaca yang lebih hangat, kita akan melihat penurunan yang memberikan kita kesempatan untuk mematangkan kesiapan kita," ujar Fauci, seperti dilansir AP.

Namun, pandangan berbeda diungkapkan oleh Kepala Program Kedaruratan Kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr Michael Ryan. Dia menilai keyakinan bahwa pandemi Covid-19 akan menghilang begitu saja di musim panas seperti kasus flu musiman merupakan harapan palsu.

"Kita harus berasumsi bahwa virus ini akan terus memiliki kemampuan untuk menyebar," jelas Ryan.

Hal senada juga diungkapkan oleh mantan kepala Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, Dr Tom Frieden. Dia mengingatkan bahwa virus influenza penyebab penyakit flu memiliki kemampuan untuk bermutasi dengan cepat. Oleh karena itu, vaksin flu selalu diperbarui setiap tahunnya.

Bila SARS-CoV-2 memiliki sifat yang sama, ada kemungkinan virus tersebut akan bersirkulasi di dunia untuk beberapa tahun ke depan. "(SARS-CoV-2) bisa menjadi virus yang bersirkulasi di seluruh dunia untuk bertahun-tahun mendatang," papar Frieden.

Hingga saat ini, belum diketahui seberapa mematikannya Covid-19. Diperlukan sebuah studi berskala besar yang melibatkan beragam kelompok masyarakat untuk bisa mendapatkan jawaban tersebut.

Saat ini, ilmuwan memperkirakan bahwa tingkat kematian Covid-19 berkisar antara kurang dari satu persen hingga empat persen pada sebagian besar kasus yang terdiagnosis. Sebagai perbandingan, penyakit flu menyebabkan kematian pada 0,1 persen dari seluruh orang yang terinfeksi. Melihat perbandingan ini, Fauci menilai, SARS-CoV-2 10 kali lebih mematikan dibandingkan dengan virus influenza.

Selain itu, tingkat kematian Covid-19 juga tampak lebih tinggi pada orang-orang yang sebelumnya sudah memiliki masalah kesehatan. Sebagai contoh, tingkat kematian Covid-19 pada pasien dengan masalah jantung mencapai lebih dari 10 persen.

Sebagain besar orang yang terkena Covid-19 mengalami gejala seperti demam dan batuk. Sebagian lainnya mengalami gejala seperti kelelahan dan napas memendek. Umumnya, kondisi orang-orang yang terinfeksi akan membaik dalam waktu sekitar dua minggu.

Diperkirakan 15 persen dari orang-orang yang terkena Covid-19 mengalami keluhan yang berat. Salah satu di antaranya adalah pneumonia. Pada kondisi ini, gejala yang dialami oleh pasien biasanya akan semakin memberat seiring dengan berjalannya waktu.

Kebiasaan merokok juga dinilai berkaitan dengan risiko seseorang untuk terkena Covid-19. Di China misalnya, jumlah kasus Covid-19 pada laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Angka perokok laki-laki di China diketahui lebih besar dibandingkan perempuan. Hampir setengah pria dan lima persen wanita di sana adalah perokok.

 

 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler