BI: Kondisi Sekarang Berbeda dengan Krisis 1998 dan 2008

Yang terjadi saat ini tidak cuma masalah di pasar keuangan, tapi juga kemanusiaan.

Dok. Bank Indonesia
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo menyampaikan perkembangan stabilitas ekonomi terkini dalam menghadapi wabah Covid-19, Selasa (24/3).
Rep: Lida Puspaningtyas Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memastikan kondisi ekonomi saat ini berbeda dengan krisis 1998 maupun 2008. Gubernur BI, Perry Warjiyo menyampaikan, merosotnya ekonomi saat ini terjadi karena kepanikan global yang dipicu pandemik Covid-19.

"Kami ingin tekankan bahwa yang kita hadapi sekarang sangat beda, jangan samakan dengan krisis keuangan 1998 dan 2008," katanya saat briefing update BI, melalui siaran langsung di akun Youtube Bank Indonesia, Kamis (26/3).

Perry mengatakan yang terjadi saat ini tidak cuma masalah di pasar keuangan, tapi juga kemanusiaan. Apa yang terjadi di pasar keuangan disebabkan wabah Covid-19 yang menyebar sangat luas di hampir semua negara, termasuk negara-negara maju.

Penyebaran yang sangat cepat itu menimbulkan kepanikan secara global. Investor asing tanpa pandang bulu menarik aset keuangannya di hampir semua negara emerging, termasuk Indonesia, dan beralih ke tunai dolar AS.

Semakin cepat dan baik penanganan Covid-19 maka dampak terhadap ekonomi bisa diminimalisir. Perry mengimbau semua pihak mematuhi seruan dari pemerintah pusat dan daerah, untuk bekerja dari rumah, menjaga jarak, dan melakukan langkah-langkah pencegahan lainnya.

Perry menyampaikan, pemerintah, BI, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan tetap berkoordinasi secara erat untuk menenangkan pasar. Regulator secara aktif berkomunikasi dengan para investor asing.

"Kita tidak bisa salahkan mereka juga, karena kondisi panik secara global, tapi mereka pastikan untuk kembali ke Indonesia," kata Perry.

Menurutnya, para investor mengapresiasi langkah pemerintah dan otoritas moneter juga keuangan dalam penanganan Covid-19. Perry mengatakan, perbaikan sudah mulai terlihat dari mulai masuknya lagi dana asing melalui pasar sekunder, dan menurunnya //outflow//.

Jumlahnya masih kecil, kata Perry, namun cukup mengonfirmasi bahwa investor asing masih menyimpan kepercayaan pada fundamental ekonomi Indonesia. Perry mengatakan industri perbankan Indonesia juga sudah jauh lebih baik, dibanding saat krisis dulu.

"Industri perbankan kita dalam kondisi sehat, rasio kecukupan modal (CAR) berada di level tinggi sekitar 23 persen, dan rasio kredit bermasalah (NPL) rendah yakni 2,5 persen," katanya.

Perry mengakui Covid-19 memang berdampak, namun regulator terus berkoordinasi untuk menstabilkan sistem dan pasar keuangan. Termasuk dalam stabilisasi nilai tukar rupiah dengan intervensi melalui pasar spot, DNDF, dan pembelian SBN di pasar sekunder.

Perry mengingatkan bahwa pelemahan rupiah saat ini sangat berbeda dengan saat krisis. Saat itu, rupiah melemah ke level Rp 16.000 dari Rp 2.500 per dolar AS, hampir delapan kali lipat.

"Sekarang kita melemah ke Rp 16 ribu dari sekitar Rp 13 ribu, jauh lebih kecil dari kondisi krisis dulu," katanya.

Perry mengatakan, kondisi pasar keuangan Indonesia akan membaik seiring dengan membaiknya kondisi pasar keuangan global. Terbukti hari ini, Senat AS telah menyetujui paket kebijakan stimulus fiskal pemerintah sebesar 2 triliun dolar AS, yang akhirnya mengerek naik sejumlah indikator pasar keuangan global.


Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler