Studi: Penikmat Film tak Sabar Kembali ke Bioskop
70 persen dari 6.800 responden mengatakan ingin segera menonton film di bioskop.
REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Survei terkini yang dirilis perusahaan analitik EDO mengungkap, penikmat film sudah tidak sabar kembali menonton di bioskop. Kesimpulan itu tertuang dalam laporan bertajuk "Social Distancing Moviegoing and TV Habits" yang diterbitkan pada Rabu (1/4).
Dikutip di laman Deadline, firma yang berbasis di New York, Los Angeles, dan San Francisco, Amerika Serikat, itu melibatkan 6.800 orang dari berbagai negara di dunia. Kebanyakan adalah penikmat sinema. Survei berlangsung selama 24-28 Maret 2020.
Lebih dari 70 persen responden mengatakan ingin segera menonton film layar lebar favorit begitu bioskop di tempat tinggalnya kembali beroperasi. Sebanyak 45 persen dari jumlah tersebut mengatakan "sangat ingin".
Sejumlah 45 persen yang memilih opsi "kembali secepatnya" terbagi dalam kelompok langsung menonton (20 persen) dan beberapa hari kemudian (25 persen). Sekitar 45 persen responden menunggu beberapa pekan dan 11 persen beberapa bulan.
Sebanyak 95 persen peserta survei menonton setidaknya dua film layar lebar di bioskop enam bulan terakhir. Sejak bioskop ditutup sementara, sekitar 75 persen responden mengatakan mereka menonton film lewat layanan video-on-demand.
Konsumsi hiburan via layanan streaming cukup melonjak sejak pandemi global Covid-19. Hal itu ditandai dengan 85 persen responden yang mengatakan konsumsi mereka menyimak TV berlangganan dan streaming naik lebih dari 50 persen.
Layanan streaming berlangganan bebas iklan di Netflix, Disney+, Hulu, dan HBO Now diminati peserta survei. Hampir setengah dari seluruh responden juga mengakses film dari provider digital seperti Amazon, YouTube, dan iTunes.
Mayoritas peserta survei EDO adalah perempuan, sebagian besar berusia di bawah 35 tahun. Hampir seluruh responden mengaku khawatir menghadapi Covid-19. Sebagian beranggapan penyedia hiburan perlu meningkatkan kewaspadaan tentang itu.
Terdapat 42 persen responden yang merasa pengiklan di televisi sebaiknya lebih sensitif terhadap virus beserta dampaknya. Sementara, 45 persen lainnya menganggap pengiklan di TV tidak perlu ikut mengatasi krisis.