Alasan Terawan Kabulkan Permohonan PSBB DKI
Menkes Terawan per hari ini menetapkan status PSBB untuk DKI Jakarta.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Flori Sidebang, Fauziah Mursid
Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto telah menetapkan DKI Jakarta sebagai daerah dengan status pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dalam mengatasi wabah virus corona SARS-CoV2 (Covid-19). Penetapan itu melalui surat keputusan Kemenkes yang diterbitkan per hari ini, Selasa (7/4), dan resmi berlaku.
Berdasarkan salinan surat keputusan yang diterima Republika, Menkes mempertimbangkan peningkatan kasus Covid-19 di Jakarta yang signifikan dan cepat. Kemudian, setelah dilakukan penyelidikan epidemiologi dan pertimbangan aspek sosial-ekonomi, memang harus ditetapkan status PSBB di Jakarta.
"Surat keputusan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan," bunyi surat keputusan tersebut.
“Saya perlu menetapkan PSBB untuk DKI Jakarta dalam rangka percepatan penanganan virus corona SARS-CoV2 (Covid-19),” kata Terawan di gedung Kemenkes, Jakarta, seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Selasa (7/4).
Kemudian, dia melanjutkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib melaksanakan PSBB. Pemprov juga harus secara konsisten mendorong serta menyosialisasikan pola hidup bersih dan sehat kepada masyarakat. Seperti diketahui, PSBB di DKI Jakarta dilaksanakan selama masa inkubasi terpanjang dan dapat diperpanjang jika masih terdapat bukti penyebaran.
Penerapan PSBB di suatu wilayah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan berdasarkan permohonan kepala daerah. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 6 Tahun 2020, kepala daerah, baik itu gubernur, bupati, maupun wali kota, harus mengajukan permohonan PSBB kepada menteri dengan disertai sejumlah data seperti peningkatan dan penyebaran kasus serta kejadian transmisi lokal.
Selain itu, tiap kepala daerah juga diminta untuk menyampaikan informasi tentang kesiapan daerah terkait ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana-prasarana kesehatan, anggaran dan operasional jaring pengaman sosial, dan aspek keamanan.
Bukan hanya kepala daerah, ketua pelaksana gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 juga bisa mengusulkan kepada Menteri Kesehatan untuk menerapkan PSBB pada suatu wilayah tertentu. PSBB baru bisa dilakukan setelah ada ketetapan menteri maksimal dua hari setelah permohonan diterima dan telah dikaji oleh tim mengenai berbagai aspek seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pertahanan, dan keamanan.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyatakan bahwa dirinya telah menyampaikan surat permohonan penetapan PSBB untuk wilayah DKI Jakarta kepada Menteri Kesehatan Terawan pada 2 April 2020. Anies meminta Menkes Terawan segera menetapkan status PSBB untuk wilayah DKI Jakarta.
"Kami butuhkan terkait pemerintah pusat. Pertama adalah menyegerakan untuk mendapatkan status agar kita bisa mengeluarkan peraturan," ujar Anies saat melaporkan perkembangan penanganan Covid-19 di DKI kepada Wakil Presiden Ma'ruf Amin melalui video konferensi, Kamis (2/4).
Akses ke Jakarta
Meskipun kebijakan PSBB telah diberlakukan, Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Sambodo mengatakan, tidak ada pembatasan akses masuk dan keluar Jakarta. Aturan tidak ada pembatasan akses itu, kata Sambodo, merujuk pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
"Permenkes (Nomor 9 Tahun 2020) tidak menyebutkan pembatasan akses keluar-masuk wilayah, hanya pembatasan jumlah penumpang," kata Sambodo saat dikonfirmasi, Selasa (6/4).
Lebih lanjut, Sambodo menjelaskan, hingga saat ini polisi masih menunggu keputusan Pemprov DKI terkait penerapan PSBB di wilayah Jakarta. "Kita masih menunggu hitam di atas putih (keputusan tertulis terkait penerapan PSBB di wilayah Jakarta). Kami masih menunggu nanti detailnya seperti apa," ungkap Sambodo.
Adapun pasal 13 ayat 1 menjelaskan pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar meliputi (a) peliburan sekolah dan tempat kerja, (b) pembatasan kegiatan keagamaan, (c) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, (d) pembatasan kegiatan sosial dan budaya, (e) pembatasan moda transportasi; dan pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.
Pasal 13 ayat 9 berbunyi bahwa pembatasan kegiatan sosial dan budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilaksanakan dalam bentuk pelarangan kerumunan orang dalam kegiatan sosial dan budaya serta berpedoman pada pandangan lembaga adat resmi yang diakui pemerintah dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13 ayat 10 menjelaskan, pembatasan moda transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dikecualikan untuk (a) moda transpotasi penumpang umum atau pribadi dengan memperhatikan jumlah penumpang dan menjaga jarak antarpenumpang dan (b) moda transpotasi barang dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.