Berpikir Positif di Tengah Pandemi Covid-19

Akibat covid-19, masyarakat kita hidup dalam kon­disi psikomatik.

dokpri
Fernan Rahadi
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fernan Rahardi, wartawan Republika

Sudah hampir sebulan kondisi Indonesia ber­ada dalam suasana mencekam akibat pan­demi virus corona atau covid-19. Sampai Sabtu (4/4) sudah sebanyak 2.092 orang terpapar virus ini, 191 di antaranya meninggal dunia.

Baca Juga


Di tengah suasana seperti ini, di mana banyak orang terpaksa harus mengurung diri di dalam rumah, kondisi diperparah dengan maraknya mis­informasi di media sosial. Padahal, saat ini media sosial sering menjadi pelarian orang-orang karena adanya imbauan untuk physical distancing (jaga jarak fisik).

Banyak informasi berkelebatan di media sosial terkait penyebaran virus ini. Mulai dari jumlah ka­sus positif Covid-19 yang kian bertambah, penam­bahan orang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) maupun orang dalam pemantauan (ODP), orang-orang meninggal tiba-tiba, karantina (lock­down) sejumlah wilayah, maupun penolakan warga terkait pemakaman orang terinfeksi Covid-19.

Jika kabar-kabar tersebut telah terkonfirmasi maka hal itu tidak masalah. Yang jadi masalah jika kabar-kabar tersebut belum mendapatkan konfir­masi kebenarannya, namun sudah terlebih dahulu disebarkan via media sosial dan menjadi perdebatan di berbagai grup Whatsapp (WAG).

Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu di salah satu WAG yang saya ikuti terdapat perdebatan mengenai penyebab kematian seorang pilot TNI AU. Beberapa anggota grup bersikukuh sang pilot ada­lah yang mengemudikan Pesawat Hercules dari Cina se­hingga terpapar virus Covid-19 dari negara terse­but.

Namun, setelah ditelusuri sejumlah media ternyata pilot tersebut bukan merupakan pilot yang mengemudikan Hercules ke Cina. Hal itu dika­re­nakan rating sang pilot merupakan pilot Pesawat CN-295. Sebuah media yang misleading dalam memberitakannya bahkan telah mengore­ksi­nya de­ngan berita yang benar, bahwa pilot ter­sebut me­mang bukan yang membawa pesawat berisi alat pelindung diri (APD) dari Cina.

Namun apa yang terjadi? Sejumlah orang da­lam grup masih tetap memperdebatkan masalah tersebut. Seolah, apa yang telah diklarifikasi oleh pemerintah maupun media adalah kebohongan semata.

Kasus lain, ketika terdapat seseorang dalam sebuah WAG mengunggah video pelemparan batu warga terhadap para petugas pemakam jenazah di sebuah desa di Banyumas, Jawa Tengah. Sang pengunggah mengaku tidak tahu-menahu kronologinya dan mengaku hanya sekadar ingin share saja di WAG tersebut.

Belakangan diketahui pelem­paran batu dilaku­kan karena warga menolak kubu­ran digunakan sebagai makam jenazah positif Covid-19. Namun, perdebatan mengenai hal itu sudah terlanjur me­warnai berbagai media sosial dan memunculkan anggapan bahwa jenazah terpapar Covid-19 tidak aman bagi warga di sekitar kuburan.

Pemerintah memang memiliki pekerjaan ru­mah memperbanyak komunikasi publik untuk mengedukasi masyarakat bahwa jena­zah positif corona tidak berbahaya untuk masya­rakat sekitar kuburan. Apalagi jika jenazah telah ditangani dan dimakamkan dengan prosedur yang benar.

Saya sendiri sejak awal berkeyakinan pemerintah bukan satu-satunya pihak yang patut dipersalahkan atas merebaknya kasus ini. Karena bahkan di negara-negara lain yang lebih maju daripada Indonesia, se­perti negara-negara Eropa dan Amerika Serikat saja, kesulitan menangani wabah ini.

Pemerintah memang masih harus melakukan perbaikan terkait manajemen penanggulangan wa­bah covid-19. Salah satunya adalah persoalan ke­terbukaan informasi yang mana sebuah infor­masi harus melalui hierarki yang panjang sebelum ter­sampaikan ke masyarakat. Media massa pun juga dituntut untuk lebih bertanggung jawab dalam menerbitkan konten berita agar iklim di masyara­kat tetap kondusif, yakni dengan mengedepankan faktualitas alih-alih sensasionalitas.

Tanggung jawab untuk menjaga iklim masya­rakat ini juga menjadi tugas warga media sosial atau warganet. Sekiranya warganet tidak perlu ikut-ikutan menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya sebelum memang sebuah kabar itu terkonfirmasi, baik oleh pemerintah maupun media massa yang memang bertugas untuk menjernihkan arus informasi.

Saat ini, akibat covid-19, masyarakat kita hidup dalam kon­disi psikomatik, yakni suatu kondisi atau gangguan ketika pikiran mempengaruhi tubuh sehingga memicu munculnya keluhan fisik. Karena itu men­jaga agar masyarakat berpikir positif adalah misi kita bersama di tengah pandemi yang be­r­langsung saat ini.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler