Jenazah Covid-19 Muslim di Italia tidak Dimandikan
Sebagai gantinya, jenazah Covid-19 Muslim di Italia ditayammumkan.
REPUBLIKA.CO.ID, ROMA -- Dengan bantuan pakaian pelindung, masker, dan sarung tangan sebagai tindakan pencegahan, seorang anak dari Libya berusia 13 tahun, korban meninggal Covid-19 dimakamkan.
Abdul Wahab adalah korban termuda yang meninggal karena Covid-19 di seluruh dunia. Ibu dan keenam saudara kandungnya tetap tinggal di rumah. Mereka menghadiri pemakaman dari ponsel mereka melalui siaran langsung yang dilakukan oleh seorang kerabat karena sebagian besar dari mereka dikarantina.
Hampir 1,8 juta orang telah dikonfirmasi positif Covid-19 secara global. Sebanyak 412 ribu orang lainnya diinformasikan telah pulih dan lebih dari 110 ribu orang meninggal.
Menurut data dari World Meter, 20 ribu orang di Italia meninggal karena pandemi global ini. Para pengungsi tidak diizinkan memindahkan mayat-mayat tersebut ke negara-negara asal, mengikuti permintaan jenazah atau kerabatnya, seperti yang biasanya dilakukan.
Namun, karena kurangnya lahan kuburan Islam di semua kota Italia, komunitas Muslim meminta otoritas resmi di negara itu untuk mengatasi masalah ini.
Mediator budaya dan Imam di kota Piacenza, Yassin Al-Yafii mengatakan, ada puluhan mayat berada di rumah sakit karena transportasi udara dan laut dihentikan. Tidak semua jenazah adalah korban dari Covid-19.
Ada kesulitan yang dihadapi umat Muslim secara khusus sejak pandemi ini menyebar. Termasuk ritual penguburan, seperti memandikan dan mengkafani orang mati, serta berdoa dan menguburkan orang mati karena adanya aturan menjaga jarak sosial.
Lembaga-lembaga keagamaan di Eropa menangani situasi saat ini dengan harmonis. Dengan keputusan pihak berwenang dan masukan dari dokter ahli mengenai penularan infeksi dan tindakan pencegahan yang diperlukan untuk mencegahnya, lembaga-lembaga ini memutuskan tidak memandikan orang mati dan menggunakan tayammum sebagai gantinya.
"Tetap menggunakan sarung tangan tentu saja. Akhirnya mereka memutuskan mayat itu akan dikafani, dikuburkan, dan didoakan dari jauh," katanya dilansir di Zamanalwsl, Senin (13/4).
Al-Yafea menyebut kondisi saat ini membuat umat Muslim mendapatkan kembali keistimewaan adat budaya Islam untuk mempersiapkan orang mati, sebelum epidemi Covid-19. Rumah sakit menyediakan kamar sebagai tempat memandikan mayat, kemudian membungkus mereka dengan kain kafan Islam yang sah.
Ada orang-orang yang dimakamkan di pemakaman Muslim di seluruh Italia, dan ada banyak mayat yang jenazahnya dikembalikan ke negara mereka. Berbagai sumbangan dikumpulkan untuk tujuan mengembalikan jenazah ke negara asal. Beberapa orang bahkan memutuskan membayar asuransi untuk tujuan khusus ini, yakni, jika mereka mati, asuransi akan memindahkan mereka ke negara mereka.
Namun sekarang, mengingat kesulitan dan tidak tersedianya penerbangan, serta transportasi laut, mengangkut mayat-mayat menjadi hampir mustahil. Dalam keadaan seperti ini, Federasi Organisasi Islam memberi tekanan pada negara untuk menyediakan kuburan bagi umat Islam di setiap kota. Permintaan ini dipenuhi di sebagian besar kota di Italia.
Hal ini menunjukkan kuburan ini mungkin merupakan sebidang tanah independen atau mungkin menjadi bagian dari pemakaman Kristen pada umumnya. Mengingat luasnya kuburan Kristen ini, dimungkinkan untuk mengintegrasikan jenazah Muslim di dalamnya, dan inilah yang sebenarnya terjadi sekarang.
Al-Yafeai juga mengungkapkan dia telah mengubur tiga dokter pengungsi Suriah. Yakni Abdul Sattar Ayroud, Abdul Ghani Makki, dan Iyad Al Daqar di kota Buchens, di tempat mereka dulu tinggal.