Dampak Covid-19 Bagi BMT

Mungkin akan muncul secara masif dampak sosial, ekonomi, politik di seantero dunia.

Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi Pencegahan Covid-19
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bagus Aryo, Kepala Divisi Keuangan Mikro Syariah, Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah

Sejak pemerintah mengumumkan secara resmi kasus positif Covid-19 pada 2 Maret 2020, kasus yang terkonfirmasi telah menyebar ke 32 provinsi di seluruh Indonesia. Data terkini telah terkonfirmasi 4.557 positif, 399 meninggal, dan 380 sembuh (13/4).

Pada level internasional yang dikeluarkan oleh John Hopkins Coronavirus Resource Center menunjukkan, sudah 1.854.464 orang positif, meninggal 114.331, dan sembuh 435.074 (13/4). Melihat jumlah individu yang terdampak, tak salah Covid-19 sudah menjadi pandemi.



Dalam waktu beberapa pekan, bahkan mungkin hari akan muncul secara masif dampak sosial, ekonomi, dan politik di seantero dunia. Bila kita fokus pada level akar rumput, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) terkena pukulan terbesar.

Tidak dapat dimungkiri, UMKM meru pakan sektor dominan dalam struktur ekonomi Indonesia. Terdapat 64 juta unit UMKM menyerap 117 juta tenaga kerja atau setara 94 persen dari total tenaga kerja (BPS, 2018).

UMKM pun harus menanggung dampak besar karena bergantung pada likuiditas harian (Hawariyuni dan Sakti, 2020). Sebagian besar UMKM ini dapat dikelom pokkan menjadi kelompok rentan miskin, akan menjadi miskin ketika terkena krisis dan bangkrut (Ascarya, 2020).

Namun, apakah hanya UMKM yang terdampak? Bagaimana dengan institusi keuangan mikro syariah yang mengucurkan pembiayaan ke UMKM? Artikel ini membedakan antara istilah lembaga keuangan mikro dan institusi keuangan mikro.

Lembaga keuangan mikro menjadi domain hukum di bawah UU No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Lembaga keuangan mikro (syariah) yang dimaksud dalam UU tersebut berada dalam pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sementara itu, institusi keuangan mikro (syariah) terdiri atas institusi yang berada di bawah pengawasan Kementerian Koperasi dan UKM, yaitu Koperasi/Unit Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah (KSPPS/USPPS). Lalu, yang berada di bawah pengawasan OJK, yaitu lembaga keuangan mikro (syariah), yang berada di bawah pengawasan pemerintah daerah dan adat setempat, yaitu lumbung pitih nagari (LPN) dan lembaga perkreditan desa (LPD).

Salah satu bentuk institusi keuangan mikro syariah (IKMS) adalah Baitul Maalwat Tamwil atau BMT yang melakukan intermediasi keuangan pada UMKM. Jumlahnya sangat signifikan di seluruh Indonesia, sekitar 5.500 institusi berdasarkan data tidak resmi.

Masih diperlukan usaha bersama Kemenkop UKM dan OJK untuk menghimpun data BMT menjadi lebih baik. BMT tumbuh dan dikembangkan masyarakat sebagai gerakan dakwah di bidang ekonomi. Sekaligus sebagai self-help bagi umat Islam.

BMT selain berfungsi melakukan intermediasi keuangan juga intermediasi sosial atau peran pemberdayaan pada segmen ultra mikro. Umumnya, segmen ini masih dikategorikan unbankable sehingga memerlukan perlakuan khusus untuk menaikkan kelas.

Selain itu, dalam praktik di lapangan, BMT juga mengemban misi sosial (baitul maal) menghimpun Ziswaf untuk pemberdayaan dan kesejahteraan mustahik. Unsur dakwah mengiringi pelaksanaan tugas keseharian BMT. Hubungan BMT dengan UMKM boleh dikatakan 'mesra'. Rata-rata BMT memberikan pembiayaan di kisaran Rp 10 juta sampai Rp 30 juta.

Kajian yang dilakukan KNEKS tahun 2019 menyimpulkan, sebagian besar pembiayaan ditujukan kepada UMKM. Lalu bagaimana nasib BMT? Sejak resmi di nyatakan adanya positif Covid-19 sebulan lalu, sudah dirasakan beberapa dampak seperti yang diutarakan para pelaku ataupun pengurus BMT. Pertama, adanya unintended conse quences dari pidato Presiden Joko Widodo.

Ketika mengumumkan keringanan kredit bagi masyarakat yang perekonomiannya terdampak pandemi Covid-19 pada Selasa (24/3), banyak anggota BMT, yang memiliki arus kas baik, meminta untuk menunda pembayaran angsuran. Walaupun OJK mengeluarkan POJK No.11/POJK.03/2020 yang mengatur res truk turisasi kredit, aturan itu ditujukan bagi perbankan dan leasing bukan BMT.

Kedua, bermunculan di berbagai daerah adanya surat dari kepala desa atau aparat lokal terkait pelarangan penagihan angsuran atau cicilan ke warga mereka dan disertai penutupan beberapa tempat seperti pasar. Akibatnya, repayment rate mengalami penurunan tajam.

Selain itu, penerapan physical distancing berdampak sulitnya BMT mengumpulkan anggota. Khususnya, BMT yang menerapkan pembiayaan kelompok. Tanpa pertemuan kelompok, angsuran pun 'libur'.

Ketiga, dari sisi keuangan secara umum. Sudah terjadi penarikan tabungan oleh anggota karena kebutuhan selama pandemi dan konsumsi yang meningkat untuk menjaga imunitas tubuh. Diperparah pekerja informal dan UMKM yang tidak bisa beraktivitas lagi.

Informasi yang diterima, dalam sebulan ada BMT yang mengalami penarikan tabungan sampai Rp 1 miliar. Angsuran pembiayaan mulai tersendat, khususnya UMKM, tetapi pekerja formal masih lancar sampai saat ini. Hampir semua BMT melakukan selective lending.

Pembiayaan diberikan kepada sektor yang tidak terkena dampak Covid-19 dan pekerja di sektor formal seperti PNS. Pada sisi cadangan likuiditas, sudah terbatas untuk beberapa waktu ke depan.

Kondisi ini tidak sama antara satu BMT dan yang lain. Ada yang mampu bertahan untuk beberapa bulan ke depan, tetapi tak sedikit yang bertahan beberapa pekan saja akibat penarikan tabungan.

Kekhawatiran juga timbul pada bulan Ramadhan. Anggota BMT umumnya menarik tabungan untuk persiapan Idul Fitri. Secara umum, pendapatan BMT juga menurun selama pandemi ini. Keempat, pada aspek operasional. BMT mulai mengurangi hari dan jam kerja. Terakhir, menjaga moral dan kesehatan pegawai BMT dari Covid-19

Solusi bagi BMT
BMT sebagai salah satu garda terdepan dalam penyaluran pembiayaan ke UMKM, memerlukan dukungan semua pihak. Ada dua solusi yang dapat dilakukan untuk men jaga keberlangsungan BMT, solusi jangka pendek dan cepat.

Diperlukan bantuan likuiditas untuk mengatasi cadangan likuiditas yang semakin menipis. Diperlukan relaksasi bagi BMT yang mendapatkan pembiayaan dari perbankan ataupun lembaga keuangan nonbank lainnya.

Perlunya jaring pengaman sosial atau bansos bagi anggota BMT yang kesulitan ekonomi karena pandemi. Dalam konteks ini, banyak anggota BMT atau UMKM yang menjadi ghorimin dan berhak menerima zakat.

Terakhir, adanya Satuan Tugas Pena ngan an Dampak Covid-19 pada Sektor Keuangan Mikro Syariah, yang terdiri atas seluruh otoritas terkait sektor keuangan mikro syariah ditambah asosiasi IKMS. Mereka bersama-sama merumuskan kebijakan yang dapat segera dieksekusi.

Solusi jangka menengah, pertama, adanya APEX sebagai lender of the last resort untuk mengantisipasi permasalahan likui ditas. Kedua, didirikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bagi keuangan mikro untuk menjaga tabungan anggota saat krisis dan menaikkan reputasi BMT.

Ketiga, pengawasan dan pelaporan yang efektif bagi BMT, sebagai upaya menjaga kehati-hatian dan risk tolerance. Keempat, perubahan model bisnis yang mengarah pada pembentukan ekosistem digital.

Sedangkan kelima, penerapan human touch and technology, bukan sekadar digitalisasi untuk meningkatkan aspek bisnis, melainkan juga mempertahankan kedekatan emosional dengan anggota. Kehadiran BMT memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, terlebih bagi pelaku UMKM. Kebijakan dan intervensi yang tepat dan cepat dapat mence gah bertumbangannya BMT.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler