Jelang Ramadhan, Impor Kurma dari Negara Arab Naik 52 Persen

Nilai impor kurma pada Maret mencapai 25,9 juta dolar AS

Republika/Wihdan Hidayat
Nilai impor kurma pada Maret mencapai 25,9 juta dolar AS Kurma (ilustrasi).
Rep: Adinda Pryanka Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menjelang bulan Ramadhan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan beberapa impor barang konsumsi. Salah satunya kurma yang pada bulan lalu mengalami peningkatan impor sampai 52,35 persen dibandingkan Februari.

Baca Juga


Kepala BPS, Suhariyanto, mengatakan kurma menjadi salah satu barang konsumsi yang mengalami peningkatan impor secara signifikan pada bulan lalu. Kenaikan impor kurma memang biasa terjadi menjelang Ramadhan. "Untuk kenaikan yang lebih pastinya, kita lihat (data) bulan April nanti," ujarnya dalam konferensi pers virtual, Rabu (15/4).

Menurut data BPS, nilai impor kurma pada Maret mencapai 25,9 juta dolar AS, sedangkan pada bulan sebelumnya hanya 17,9 juta dolar AS. Indonesia biasa mengimpor kurma dari Emirat Arab, Tunisia, Palestina, dan Mesir.

Kenaikan tidak hanya terlihat secara month-to-month (m-to-m), juga year-on-year (yoy). Pada Maret 2019, Indonesia mengimpor kurma senilai 19,5 juta dolar AS yang berarti terjadi kenaikan 32,82 persen di tahun ini.

Tidak hanya kurma, BPS mencatat sejumlah komoditas bahan makanan juga mengalami kenaikan di tahun ini. Sebut saja bawang putih yang kemarin sempat mengalami kelangkaan hingga menyebabkan peningkatan harga.

Pada bulan lalu, jumlah bawang putih yang diimpor Indonesia mencapai 18,8 juta dolar AS. Nilai ini naik signifikan dibandingkan Februari 2020 maupun Maret 2019, di mana Indonesia sama sekali tidak mengimpor bawang putih.

"Impor bawang putih yang memang sudah disepakati juga meningkat 18,8 juta dolar AS, itu berasal dari Cina," tutur Suhariyanto.

Kenaikan signifikan turut terlihat pada impor gula rafinasi. Pada Februari 2020, nilai impornya adalah 900 ribu dolar AS yang naik menjadi 11,3 juta dolar AS pada Maret 2020, atau terjadi kenaikan sampai 1.155 persen.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebutkan, tren kenaikan impor barang konsumsi jelang Ramhadan merupakan hal biasa. Berkaca dari dua tahun ke belakang, pertumbuhannya biasa terjadi sebulan jelang Ramadhan. "Kemudian melambat ketika sudah bulan Ramadhan," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id.

Tren serupa diperkirakan masih terjadi di tahun ini, meski daya beli diperkirakan tertekan pandemi Covid-19. Tapi, Yusuf mengatakan, hal ini sangat tergantung pada eksekusi insentif penjaga daya beli, dalam hal ini adalah pemerintah.

Apabila memang bantuan sosial yang tengah digencarkan pemerintah tepat sasaran, baik tujuan dan penerima, maka potensi peningkatan impor barang konsumsi tetap ada. Efek ini baru dapat terlihat pada data April. "Tapi, jika tidak, tentu mengalami perlambatan dibandingkan tahun-tahun kemarin," ucap Yusuf.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler