ICJR: Program Asimilasi Narapidana Harusnya Diperbanyak
ICJR dorong Kemenkumham perluas kategori narapidana yang berhak dapat asimilasi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program asimilasi dan pelepasan narapidana pada masa pandemi Covid-19 ditanggapi positif sejumlah pemerhati hukum dan hak asasi manusia. Bahkan, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, jumlah warga binaan yang dilepas kurang banyak.
“Kami di ICJR dalam posisi menilai, itu (yang dilepaskan) belum cukup. Bila perlu lebih banyak lagi,” kata Erasmus saat diskusi jarak jauh dalam forum gagasan Suara Pembebasan, Kamis (16/4).
Menurut dia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) harus memperluas kategori narapidana yang berhak mendapatkan asimilasi pelepasan hukuman pada masa wabah Korona saat ini. “(Narapidana) pecandu narkotika, harus keluar. (Narapidana) hamil, anak-anak dan orang tua. Yang sakit-sakitan, harus dikeluarkan,” kata Erasmus.
Erasmus tak membeda-bedakan narapidana yang berhak mendapatkan asimilasi. Termasuk, kata dia, warga binaan dalam penjara atau lapas tersebut para terpidana korupsi.
Sebab, kata dia, tak semua narapidana korupsi itu terisolasi total seperti di penjara Sukamiskin. Kendati demikian, ia menyatakan, hal yang paling penting adalah pelepasan dari program asimilasi tersebut diutamakan bagi para napi narkoba.
Menurut dia, jika menjadikan kelebihan kapasitas sebagai salah satu alasan perlunya asimilasi pada masa pandemi sekarang ini maka para terpidana narkotika merupakan penghuni paling dominan di semua rumah tahanan, pun penjara.
Erasmus juga menanggapi kekhawatiran masyarakat mengenai tingkat kriminalitas pascapelepasan para narpidana. Erasmus melanjutkan keresahan warga tersebut sebagai reaksi yang wajar, tetapi sekaligus merupakan ketakutan yang berlebihan.
Sebab, menurut data ICJR yang didapat dari Dirjen Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Kemenkumham, pengulangan kejahatan para terpidana yang dilepas terbilang minim. Dia mengatakan, dari 36 ribu napi yang dilepas, tercatat hanya 19 terpidana asimilasi yang kembali menjadi residivis sampai 16 April.
“Itu artinya hanya sekitar 0,0005 persen,” ujar dia.
Menurut catatan ICJR, peluang narapidana melakukan tindak kejahatan yang terulang di Indonesia relatif kecil. Itu, dia mengatakan, dengan melihat data tiga tahun terakhir.
Sejak 2017, hanya tercatat 10,18 persen dari jumlah 27 ribu narapidana yang bebas yang mengulangi kejahatannya. Dia menambahkan, program asimilasi di masa pandemi merupakan salah satu pemenuhan hak bagi narapidana untuk tetap hidup, dan tak terpapar virus Korona.
Menkumham Yasonna Laoly mengundangkan program asimilasi narapidana, pekan lalu. Sekitar 36 ribu napi yang dilepaskan dari seluruh penjara di Indonesia.
Program itu sebetulnya salah satu respons pemerintah menyikapi penyebaran virus Covid-19 di Tanah Air. Dalam asimilasi itu, Yasonna menebalkan hanya melepaskan napi yang sudah menjalani 2/3 masa hukuman pokok dan sudah berusia senja di atas 60 tahun.
Dalam program asimilasi itu, juga termasuk para napi remaja, dan anak-anak, serta perempuan. Akan tetapi, Yasonna menegaskan, asimilasi tak menyentuh para napi korupsi, bandar narkoba, pun terorisme.