Kiai Sholeh Darat dan Titik Balik Keislaman RA Kartini

Pelarangan menerjemahkan Alquran ke bahasa Jawa membuat Kartini galau.

Republika/Rakhmawaty La'lang
Kiai Sholeh Darat dan Titik Balik Keislaman RA Kartini. Tulisan tangan RA KArtini. Museum RA Kartini, merupakan rumah tinggal RA Kartini bersama suaminya Djojo Adiningrat yang merupakan Bupati Rembang, Jawa Tengah. Museum tempat RA KArtini menghabiskan sisa hidupnya ini menyimpan koleksi barang pribadi milik RA Kartini, seperti tempat tidur, bathup pribadi, tempat jamu, meja makan, mesin jahit, lesung, sermin rias, meja untuk merawat bayi, dan sejumlah buku serta foto dirinya beserta keluarga semasa hidup.
Rep: Ali Mansur Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak banyak literatur yang menceritakan pertemuan antara Raden Ajeng (RA) Kartini dengan sosok ulama besar KH Muhammad Shaleh bin Umar Assamarani atau Kiai Sholeh Darat. Pertemuannya dengan ulama penyusun kitab tafsir Faid Al-Rahman tersebut mengubah pandangannya terhadap Islam, terutama setelah ia mengetahui tafsir Surat Al-Fatihah yang disampaikan Kiai Sholeh Darat.

Dalam suratnya kepada sahabat penanya bernama Stella Zihandelaar, bertanggal 6 November 1899., Kartini mencurahkan kegalauannya terhadap agama Islam yang dianutnya. Ia mengkritik para pemangku agama saat itu yang hanya mengajarkan membaca ayat-ayat Alquran tanpa menyampaikan artinya, termasuk guru mengajinya.

"Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang shaleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?” tulis RA Kartini pada Stella.

Sementara sebagai perempuan keluarga bupati, ada batasan sosial untuk mengaji lebih mendalam ke pesantren atau madrasah. Ditambah guru mengajinya juga tidak bisa memuaskan keingintahuannya terhadap agama Islam. Walhasil, kondisi ini menambah keputusasaanya dalam beragama. Bahkan ia berpikiran jika gurunya juga tidak tahu arti ayat-ayat Alquran yang diajarkan kepada dirinya.

"Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya," tulis Kartini dalam surat tertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny. Abendanon, seorang pejabat urusan pendidikan Hindia Belanda.

Memang situasi di masa itu sangat sulit untuk belajar agama secara mendalam karena kebijakan yang ditetapkan penjajah. Salah satunya adalah melarang Alquran diterjemahkan ke dalam bahasa lokal, seperti bahasa Jawa.

Baca Juga


Akibatnya umat Islam di masa itu banyak yang tidak memahami agamanya dengan baik, termasuk RA Kartini. Mayoritas Alquran hanya sebatas dibaca tanpa diketahui makna atau setidaknya artinya.

Namun, perlahan tapi pasti, pertemuannya dengan Kiai Sholeh Darat menjadi momentum hijrahnya. Pertemuan itu terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.

Kebetulan dalam kesempatan itu, Kiai Sholeh Darat menafsirkan Surat Al-Fatihah ke dalam bahasa Jawa. RA Kartini pun terkesima, ia menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah.


Kiai Sholeh Darat merupakan guru dari dua ulama karismatik, KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari, dua permata nusantara pendiri ormas Islam terbesar, Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama (NU). KH Shaleh Darat lahir di Desa Kedung, Jumbleng, Mayong, Kabupaten Jepara pada sekitar 1820.

KH Sholeh Darat juga murid dari ulama-ulama besar, seperti Sayyid Muhammad Ibn Zaini Dahlan dan Sayyid Muhammad Salih Az-Zawawi Al-Makki. Setelah pengajian, RA Kartini meminta kepada pamannya untuk menemaninya menemui Kiai Sholeh Darat.

Dalam pertemuan itu, ia mempertanyakan mengapa melarang penerjemahan Alquran ke dalam bahasa Jawa. Sementara, bagi umat Islam, Alquran merupakan bimbingan hidup bahagia bagi manusia. Dialog itu rupanya menginspirasi KH Sholeh Darat untuk menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Jawa.

Beberapa waktu kemudian, Kiai Sholeh Darat menerjemahkan 13 juz dan diberikan kepada RA Kartini sebagai hadiah perkawinan RM Joyodiningrat, Bupati Rembang. Bahkan, RA Kartini menyebutnya sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia.

Wisatawan mengunjungi Museum RA Kartini di jalan Alun-alun Kota Jepara, Jawa Tengah. Museum yang didirikan pada 30 Maret 1975 dan menyimpan benda peninggalan RA Kartini beserta keluarga semasa hidup seperti foto keluarga, surat untuk teman Kartini, meja belajar dan mesin jahit serta benda yang bernilai sejarah yang ditemukan di wilayah Jepara itu mengalami lonjakan jumlah pengunjung hingga 200 persen setiap menjelang peringatan Hari Kartini, 21 April - (ANTARA FOTO)

Adapun surat yang diterjemahkan Kiai Shaleh adalah Al-Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kitab tafsir Faid al-Rahman yang disusunnya pun ditulis dalam bahasa Jawa menggunakan huruf Arab Pegon agar tidak menimbulkan kecurigaan pihak Belanda.

Selanjutnya, pandangan sinis RA Kartini kepada budaya dan agamanya pun mulai memudar. Dalam suratnya kepada Ny. Ovink-Soer RA Kartini mengaku ada yang berubah dalam dirinya.

Meski tidak banyak diekspos, RA Kartini sangat kuat memegang agama Islam. Hal itu diketahui dari suratnya tertanggal 21 Juli 1902 kepada Ny. Van Kol.

“Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama yang disukai," tulis RA Kartini kepada Ny. Van Kol.

 

sumber : Kartini Nyantri karya Amirul Ulum, Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini karya TH Sumartana
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler