Ketika Rasulullah Berada di Persimpangan Rasa Takut
Kita seringkali percaya Allah sepenuh hati, tetapi meninggalkan logika tawakal.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Fuady, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia
Apakah ketakutan kita akan serangan, kekalahan, kesakitan, dan kecelakaan harus serta merta dipertentangkan dengan ketundukan dan kepasrahan kita kepada Allah? Apakah ketaatan yang kita sempurnakan selalu berbanding terbalik dengan kewaspadaan dan kekhawatiran?
Selepas perang Uhud, Rasulullah ﷺ berupaya keras mengerek kembali semangat kaum Muslimin yang terberai. Satu per satu ekspedisi dijalankan, hingga setahun berikutnya mereka bertemu dengan janji Abu Sufyan di penghujung perang Uhud, “Satu tahun lagi di Badar!”
Tapi, Abu Sufyan lebih dahulu kalah oleh musim panas dan kekeringan yang melanda sehingga ia memutuskan memutarbalik pasukannya kembali ke Mekkah. Perang Badar jilid II yang semula diniatkannya sebagai balas dendam dengan keyakinan penuh selepas perang Uhud, dibatalkannya sendiri.
Rasulullah ﷺ pulang tanpa keringat di medan laga. Tapi, tidak demikian di Madinah yang masih belum stabil.
Di tengah semangat kaum Muslimin yang mulai menanjak, ancaman serangan muncul lagi dari suku Ghatafan sehingga Rasulullah ﷺ memutuskan memboyong sepasukan kaum Muslimin menuju Dzatur Riqa tanpa ingin melakukan konfrontasi langsung. Kedua kelompok ini saling terkejut ketika satu sama lain berjumpa, meski kemudian kaum Muslimin berhasil membuat sekelompok orang dari suku Ghatafan lari tunggang langgang.
Kisah itu tak berhenti begitu saja. Ghatafan tak sepenuhnya lari. Serangan masih mungkin saja dilancarkan. Tengah malam, dini hari, siang terik, atau menjelang senja.
Posisi kedua kelompok ini sudah terdeteksi masing-masing. Rasulullah ﷺ tengah bersiap menunaikan Shalat Zhuhur di Asfan, sedangkan Khalid bin Walid yang saat itu belum masuk Islam tengah bersiaga dengan pasukannya di arah kiblat Rasulullah ﷺ.
Khalid dan pasukannya hanya tinggal menunggu saat-saat lengah musuhnya. “Shalat,” kata salah satu dari gerombolan itu. “Akan tiba waktu shalat yang mereka lebih sukai ketimbang anak-anak mereka sendiri,” (1) katanya memulai kesepakatan penyerangan.
Bagi mereka, waktu shalat kaum Musliminlah periode emas melakukan penyerangan. Ketika mereka ruku’, tak ada yang mengawasi. Ketika mereka bersujud, tak ada yang dapat menghindar dari serangan yang tiba-tiba.
Rasulullah ﷺ bukan tak gentar. Ia bukan tak mengerti psikologi pasukannya yang belum lama dilanda kekalahan besar di Uhud. Rasulullah ﷺ tidak hadir di tengah pasukannya dengan teriakan membahana untuk meminta semua pasukannya tetap shalat berjamaah seperti sedia kala.
Rasulullah ﷺ tidak lantas menjanjikan kemenangan atas musuh fisikal mereka dengan strategi di luar nalar seolah keajaiban datang memancar dari tempat sujud mereka, membuat perisai tak kasat mata dan menembakkan panah otomatis dari entah arah mana yang mereka tak pernah sangka.
Allah memang menghadirkan kekuatan supranatural di Badar (2). Jika pasukan Muslim melempar panah, bukan mereka yang sesungguhnya melempar, walakinnallaha ramaa (3). Allah-lah yang melempar.
Jika mereka melepas pedang ke arah musuh, kulit lawannya telah tertebas sebelum pedang sampai ke permukaan kulitnya. Kepalanya telah mengucurkan darah sebelum benda apa pun mendarat di kepalanya.
Tetapi, tidak ada yang datang dalam ketiba-tibaan, dalam kelenggangan, dalam ketidakwaspadaan. Allah seperti tengah menguatkan apa yang diinginkan-Nya: berupayalah dahulu dalam logika manusiamu, dalam perbendaharaan strategimu, dalam taktik pencegahanmu, dalam model pengobatanmu, dalam kampanye politikmu, dalam musyawarah keputusanmu, dalam panduan-panduan ilmu.
Setelah lengkap, tuntas, komplit, dan sempurna semua niat dan usahamu, Allah akan hadir memberikan firasat fatsabbitu lladziina aamanuu. Tegaklah, kokohlah orang-orang yang mempercayai-Ku di belakang mereka.
Kita seringkali merasa tengah mempercayai Allah sepenuh hati, tetapi meninggalkan logika tawakal dalam upaya manusiawi kita. Kita sering meminta pertolongan Sang Khalik tanpa mengupayakan mukadimah usaha dan keringat kita sendiri sebagai makhluk.
Kita kerap yakin Allah bersiap di belakang kita dan sewaktu-waktu akan membela kita tanpa menajamkan senjata ikhtiar kita, tanpa memperbaiki aktivitas dan amal fisikal kita, tanpa menyortir strategi dan taktik terbaik kita. Muhammad ﷺ tentu telah melampaui diri kita yang kerap lengah.
Mengerti bahwa kondisi shalat membuka celah tusukan serangan musuh, beliau ﷺ galau. Tak mungkin ia melakukan shalat seperti shalat mereka di waktu normal. Hingga turunlah Malaikat Jibril di antara Shalat Zhuhur dan Ashar, memberikan jawaban Allah atas rasa khawatirnya, “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka.” (4)
Jawaban itu terasa melegakan. Datang di waktu yang begitu tepat. Ketika waktu salat tiba, Rasulullah ﷺ memerintahkan para sahabatnya menyandang senjata, lalu membariskan mereka di belakangnya menjadi dua shaf –dua kelompok yang berjaga bergantian tanpa membatalkan shalat mereka.
Instruksinya persis seperti apa yang diberitakan Jibril, “…Hendaklah sekelompok dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) sujud (telah menyempurnakan satu rakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.”
Meski dua kelompok bergantian berjaga, mereka menyesaikan shalat dengan salam bersama-sama. Kita kemudian mengenalnya sebagai shalat khauf –tata cara shalat yang begitu rinci dijelaskan Allah dalam firman-Nya ketika tata cara shalat lain tak mendapat panduan segamblang ini.
Bukan sekali saja Rasulullah ﷺ menjalankan Shalat Khauf. ini dua kali; sekali di Asfan, dan yang lainnya di tanah tempat orang-orang Bani Sulaim. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mencatat Abu Ayyas Az Zuraqiy menceritakan Rasulullah ﷺ melakukan shalat sejenis itu dua kali. Sekali di Asfan, sekali lagi di daerah Bani Sulaim.
Peristiwa ini mengembalikan kejernihan berpikir kita dalam tataran manusiawi sekaligus spirit ketuhanan yang penuh. Tak ada yang perlu dipertentangkan antara kekhawatiran fisikal dan ketundukpasrahan kita kepada Allah. Kita selalu ada di persimpangan rasa takut.
Satu jalan menuju ketakutan kita kepada materi dunia: sakit, mati, kalah, gagal, rugi, lepas, jatuh. Satu jalan lagi menuju ketakutan kita kepada immaterialitas Allah: takwa. Ketika memilih hanya salah satunya adalah keterjebakan, kita perlu menyadari diri bahwa jalan kita haruslah resultan dari kombinasi keduanya: takwa dan ikhtiar, niat mulia dan doa-doa yang melesat ke langit.
CATATAN KAKI
(1) Diceritakan dalam sebuah hadits Riwayat Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, dan Imam Bukhari tentang shalat
khauf.
(2) Lihat QS Al Anfal 12
(3) Lihat QS Al Anfal 17
(4) Lihat QS An Nisa 102