Nuansa Ramadhan yang tak Biasa Bagi Muslim Nepal

Muslim Nepal biasa menjalani Ramadhan dalam kebersamaan.

NARENDRA SHRESTHA/EPA
Nuansa Ramadhan yang tak Biasa Bagi Muslim Nepal. Sukarelawan Muslim Nepal berdoa disela kegiatan mengelola makanan yang akan disumbangkan di Masjid Jame, Kathmandu, Nepal, Sabtu (25/4). Komunitas Muslim Nepal memprakarsai distribusi makanan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan di tengah kebijakan lockdown yang dilakukan pemerintah Nepal guna mencegah penyebaran virus corona.
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, KATHMANDU -- Umat Muslim di seluruh dunia tengah bersuka cita menjalani ibadah puasa Ramadhan. Ramadhan biasanya identik dengan momen berkumpul dan mempererat silaturahim. 

Baca Juga


Namun, Ramadhan tahun ini harus dijalani di bawah bayang-bayang wabah virus corona. Nuansa Ramadhan seperti biasa pun tidak bisa dirasakan Muslim kali ini. Ramadhan yang tak biasa juga dirasakan oleh Muslim di Nepal.

"Kami tidak pernah menjalani Ramadhan seperti ini. Bagi kami, Ramadhan adalah bulan penuh urusan kebersamaan. Tapi tahun ini, Ramadhan benar-benar berbeda," kata Asgar Ali, seorang pebisnis berusia 50 tahun dari Asan, Kathmandu, Nepal, dilansir di The Kathmandu Post, Rabu (29/4).

Setiap tahun pada bulan kesembilan dari kalender Islam, Muslim di seluruh dunia menjalani puasa Ramadhan. Ali mengungkapkan, sebagian besar dari mereka berpuasa atau shaum pada bulan Ramadhan, yang memang merupakan salah satu dari lima rukun Islam.

Walaupun ada pengecualian, misalnya wanita yang hamil, orang yang sakit, dan anak-anak yang belum mencapai usia baligh, mereka tidak didorong untuk berpuasa. Namun, kata Ali, mereka yang berpuasa harus menjalankannya dengan niat yang tulus dengan keyakinan pahala mereka akan dilipatgandakan jika mereka berpuasa di bulan suci ini.

Orang-orang dalam lingkaran menunggu bantuan yang didistribusikan oleh Newa Muslim Society di Kathmandu, Nepal, Rabu (15/4). Masyarakat Muslim Newa memasok bantuan untuk 50 keluarga berpenghasilan rendah yang rentan pascalockdown - (EPA-EFE / NARENDRA SHRESTHA)

Biasanya, waktu berbuka puasa di bulan Ramadhan dijadikan momen berkumpul bersama anggota keluarga lainnya atau pun teman. Bahkan, umat Muslim juga kerap berbuka puasa bersama di masjid-masjid.

Namun, karena wabah Covid-19 yang tengah melanda Nepal dan hampir semua negara lainnya di dunia, Muslim hanya bisa mengadakan buka puasa di rumah saja. Protokol pencegahan wabah dan aturan pembatasan sosial mengharuskan masyrakat menghindari perkumpulan dan bentuk keramaian lainnya. Ali mengatakan, berbuka puasa pada Ramadhan kali ini berbeda.

"Sebelumnya, saya dulu menikmati berbuka puasa karena menyatukan komunitas saya. Sekarang kami tidak mengundang, bahkan teman-teman kami dari daerah kami, karena kami harus mengikuti aturan jarak fisik," kata Ali.

Seorang aktivis sosial dari Nepalgunj, Mohd Irfan (27 tahun), mengungkapkan esensi sejati Ramadhan terletak pada merayakannya dalam kebersamaan. Namun, kali ini mereka hanya melakukannya dengan anggota keluarga yang terbatas dan juga dengan makanan yang terbatas.

 

 

"Karena kami sedang berusaha mengurangi terlalu banyak keluar rumah. Karena itu, kami tidak mendapatkan cukup makanan seperti kurma, sewai dan Rooh Afza, yang biasanya dikonsumsi selama Ramadhan ini," kata Irfan.

Tahun ini, Ramadhan memang tidak terasa lengkap bagi banyak Muslim. Begitu pun apa yang dirasakan Irfan, Ramadhan ini menurutnya dimulai tanpa daya tarik dan sangat berbeda dari apa yang mereka alami sebelumnya.

Demikian pula dengan pelaksanaan sholat tarawih, pada Ramadhan kali ini Muslim tidak bisa menggelar sholat tarawih berjamaah di masjid. Di tengah kondisi wabah ini, Muslim di Nepal juga hanya bisa melaksanakan sholat tarawih di rumah masing-masing.

"Bagi kami, karena pandemi, rumah telah menjadi masjid kami. Kami melakukan ibadah di rumah kami dengan tulus untuk mengikuti aturan pembatasan fisik. Demikian pula di beberapa rumah, kepala keluarga melaksanakan tarawih untuk keberlanjutan ritual khusus yang dilakukan selama bulan suci ini," kata Shah.

Masjid-masjid yang biasanya ramai dengan jamaah yang hendak shalat dan berbuka puasa bersama, kini sebagian besar kosong. Hal yang lebih dikhawatirkan, muncul narasi yang menyalahkan Muslim atas penyebaran wabah virus corona di negara itu, di mana masjid dianggap tempat penyebaran virus tersebut.

Seorang Muslim tengah berdoa di depan Masjid Kashmiri Taqiya, Kathmandu, Nepal. - (Reuters)

Terlepas dari tekanan eksternal itu, umat Muslim tetap menjalani Ramadhan, walaupun tidak ada tradisi kumpul bersama seperti sedia kala. Sebab, bagi Muslim, Ramadhan adalah bulan yang suci sebagai momen untuk disiplin diri, instrospeksi, dan meningkatkan ibadah serta solidaritas.

"Penyakit tidak memiliki agama. Kita semua harus mempertahankan solidaritas kita di masa yang sulit ini dan menunjukkan belas kasih satu sama lain. Dalam semua doa kami, kami berdoa agar negara kami bebas dari virus corona," ujar Shah.

Sama seperti Nepal, negara-negara lain seperti Arab Saudi dan Indonesia juga secara ketat mematuhi aturan pembatasan fisik untuk mengendalikan wabah. Namun, untuk mempertahankan tradisi dan ritual mereka, banyak komunitas Muslim di berbagai belahan dunia memanfaatkan internet agar tetap terhubung satu sama lain. Bahkan, untuk melakukan ibadah Ramadhan.

Misalnya, beberapa masjid di Inggris menyiarkan shalat secara langsung. Selain itu, banyak pula yang menggunakan aplikasi konferensi video Zoom untuk menciptakan pengalaman berbuka puasa bersama rekan dan anggota keluarga lainnya di dunia maya, termasuk berbagi resep dan bermain gim. 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler