Anggota DPR Minta Jangan Ada yang Memperberat Beban Buruh
Para buruh dihadapkan pada ancaman PHK dan pengurangan gaji.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati mengimbau agar pemerintah dan parlemen tidak memaksa melanjutkan pembahasan Omnibus Law Cipta Tenaga Kerja (Ciptaker). Menurutnya, hal tersebut berpotensi menambah berat beban buruh saat ini di tengah pandemi.
"Tetapi yang terjadi, para buruh justru dihadapkan pada ancaman PHK, THR tidak terbayar, pengurangan gaji dan sederet kabar buruk lainnya," kata Kurniasih Mufidayati dalam keterangan di Jakarta, Jumat (1/5).
Menurut Mufida, seharusnya buruh diberi berbagai bantuan yang meringankan dalam situasi sulit akibat pandemi global Covid-19 saat ini. Merujuk program kartu pra kerja, dia mengatakan, diperkirakan ada 5,6 juta pekerja yang terdampak.
Dia mengungkapkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga telah merilis data bahwa ada 3.921 perusahaan dengan 1.057.952 pekerja yang terdampak. Mufida menambahkan, para buruh tahun ini mengalami berderet kesulitan mulai dari PHK sampai kekurangan biaya untuk bertahan hidup.
"Jadi, tetap ngotot membahas RUU Omnibus Law jelas bukan tindakan bijak," katanya.
Dia mengatakan, ada prioritas lain yang harus dilakukan pemerintah dan DPR selama masa pandemi dibanding mencari kesempatan untuk meloloskan RUU Ciptaker. Dia meminta semua pihak untuk saling menguatkan pada masa kesulitan ekonomi saat ini termasuk para pekerja
Disaat yang bersamaan, dia mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo yang menghentikan klaster ketenagakerjaan dalam RUU tersebut. Namun, sambung dia, lebih dari itu pembahasan harus Omnibus Law harus mendengar semua aspirasi mengingat pembahasannya yang harus komprehensif.
"Jika Pak Jokowi tulus mendengarkan suara teman-teman buruh, bukan hanya klaster ketenagakerjaan yang dihentikan pembahasannya, tapi semua," katanya.
Seperti diketahui, DPR telah membentuk panitia kerja (Panja) untuk membahas RUU Ciptaker. Pembahasan dilakukan menyusul diterimanya surat presiden (surpres) terkait salah satu klaster Omnibus Law pada pertengahan Februari 2020. Namun, DPR dan Pemerintah saat ini sepakat untuk menunda pembahasan RUU. Penundaan dilakukan mengingat pandemik wabah virus Covid-19 alias corona jenis baru yang terus menyebar di nusantara.