Perihnya Ramadhan di Burkina Faso, Hanya Ada Air dan Kopi

Burkina Faso mengalami krisis kekerasan dan kesehatan.

Henry Wilkins/Al Jazeera
Perihnya Ramadhan di Burkina Faso, Hanya Ada Air dan Kopi. Warga di kamp pengungsian di Barsalogho di utara Burkina faso.
Rep: zainur mahsir ramadhan Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, OUAGADOUGOU -- Warga Burkina Faso, Karim Bamago (30 tahun) hanya bisa mensyukuri air dan kopi di menu buka puasanya kali ini. Bukan tanpa sebab, masalah kekerasan dan pasokan makan yang tersendat, terlebih karena Covid-19, membuat dia beserta istri dan lima anaknya harus menahan lapar setiap berbuka.

Baca Juga


“Saya juga mengusahakan, tapi sulit berpuasa ketika pada akhirnya tak ada apa pun (untuk dimakan)” ujar dia seperti dikutip Aljazirah, Senin (4/5).

Dia menambahkan, distribusi makanan dari berbagai agen bantuan juga tak mencukupi untuk kebutuhan wilayahnya yang saat ini sedang mengalami krisis kekerasan dan kesehatan. Alhasil menurutnya, suasana redup bagi banyak keluarga di Burkina Faso, berlaku pada Ramadhan kali ini.

"Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan di sini. Kami benar-benar membutuhkan bantuan. Air adalah masalah juga, dan tidak ada layanan kesehatan," kata Bamago dari sebuah kamp IDP di Barsalogho, Burkina Faso.

Dia melanjutkan, penduduk di pengungsian hampir tak memiliki air untuk diminum. Terlebih, untuk digunakan sebagai media berwudhu, sehingga pedoman untuk mencuci tangan sebagai pencegahan Covid-19 juga hampir mustahil di tempatnya.

“Kami berdoa kepada Tuhan agar kami tetap aman,” ungkap dia sambil merujuk pada lebih dari dua juta warga lainnya yang membutuhkan makanan.

Secara khusus, dampak pandemi di Burkina Faso hingga Senin (4/5) telah mencatatkan sekitar 662 kasus dan 45 korban meninggal. Meski demikian, jumlah kematian karena konflik di negara itu sepanjang 2019, telah mencapai lebih dari 2.000 orang, selain dari konflik yang menyebar ke Sahel, bahkan Negara lain seperti Nigeria dan Mali.

Bamago menampik ketika ada anggapan Ramadhan kali ini akan menjadi pengalaman dan momen berkesan. Pasalnya, ia mengenang, tak akan ada nasi dan bubur yang biasa dia konsumsi pada buka puasa layaknya tahun-tahun lalu.

"Kami hanya berdoa kepada Tuhan untuk membantu menjaga kami aman dari coronavirus ini," tambahnya.

Bamago dan keluarganya hanya beberapa dari 12,5 juta Muslim (61,5 persen dari populasi) di Burkina Faso yang mayoritas sedang kesulitan air dan pangan di bulan suci ini. Hingga kini, Bamago dan ribuan pengungsi lainnya telah meninggalkan berbagai desa setelah serangan kelompok jihadis kembali menyerang wilayahnya pada tahun lalu. Dari banyak permukiman yang dinilai aman, Barsalogho menjadi tujuan Bamago, utamanya dari kelompok yang berafiliasi dengan Negara Islam Provinsi Afrika Barat (ISWAP) dan Jama'at Nasr al-Islam wal Muslimin (JNIM).

Meski tinggal di tenda yang hanya beratap terpal atau kamar-kamar yang tersedia, ada 20 orang yang ditampung di setiap sekatnya. Namun demikian, Bamago masih bersyukur karena belum ada pasien positif Covid-19 di tempatnya kini.

 

 

Untuk tetap melakukan pencegahan wabah, pemerintah setempat telah menutup berbagai pasar, salah satunya di Barsalogho. Alhasil, akses makanan bagi penduduk lokal dan pengungsi dirasa semakin sulit.

"Pemerintah harus membatasi gerakan untuk menahan penyebaran Covid-19," kata direktur negara dan perwakilan WFP di Burkina Faso,David Bulman.

David tak menampik, ketika berbagai orang dibatasi pergerakannya, ekonomi di negara itu yang bergantung pada sektor informal sangat berdampak. Terlebih, ketika banyak warganya yang kini tak bekerja.

"Ada banyak orang di sini yang mendapatkan uang per hari, dan menggunakan penghasilannya untuk memberi makan keluarga. Jika tidak bisa bekerja, akan banyak keluarga kelaparan," ujar dia.

Terpisah, di Kaya, yang merupakan salah satu kota di utara Burkina Faso, ada lebih dari 80 ribu pengungsi yang terdampak karena konflik. Bahkan, mayoritas dari mereka saat ini masih telantar dan mengandalkan bantuan warga.

"Saya selalu punya jus dan bubur dan untuk kue (yang terbuat dari millet, sorgum atau jagung) mengingat banyak orang yang datang," kata Kepala dan pemimpin komunitas Sektor 6, Madiega Dianbende.

Dianbende menambahkan, meski kebanyakan warganya masih kesulitan, zakat di bulan suci masih dilakukan. Walaupun, jumlah tersebut ia nilai jauh dari cukup untuk membantu pengungsi.

 

"Sangat penting untuk berbagi, terutama di tahun ini. Ini hanya tentang memberikan apa yang kita bisa, uang makanan, dan apa pun. Penyakit ini telah mengubah segalanya. Mereka yang membawakan kami makanan sebelumnya juga semakin sedikit," kata dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler