Perludem: Pemerintah Terlalu Paksakan Pilkada pada Desember
Perludem nilai pemerintah terlalu memaksakan pilkada digelar pada Desember.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai pemerintah terlalu memaksakan diri untuk menggelar pemungutan suara Pilkada 2020 pada Desember mendatang. Hal itu setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pilkada, yang salah satu poinnya menunda pemungutan suara dari September 2020 menjadi bulan Desember 2020.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menilai Perppu terkesan hanya mencakup persoalan pemungutan suara saja. "Padahal, jika pemungutan suara dilaksanakan pada bulan Desember, tahapan Pilkada 2020 yang saat ini ditunda, mesti dimulai kembali selambat-lambatnya pada bulan Juni 2020," ujar Titi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (6/5).
Titi menjelaslan, jika dimulai pada Juni, maka pada Mei ini, KPU dan Bawaslu, serta stakeholder pemilu lainnya sudah mesti bersiap kembali untuk melanjutkan tahapan pilkada. Sementara, kata Titi, kondisi pandemi Covid 19 saat ini belum memungkinkan untuk melakukan kegiatan yang melibatkan banyak orang.
"Kita tahu semua, hampir semua tahapan pilkada, merupakan kegiatan yang mengundang interaksi banyak orang, serta kegiatan yang dilaksanakan di luar rumah. Aktifitas yang pastinya bertentangan dengan upaya menekan angka penyebaran Covid 19," ujarnya.
Karena itu, ia mempertanyakan alasan pemerintah begitu berani mengambil resiko melaksanakan tahapan pilkada ditengah pandemi Covid 19 yang belum juga berhasil diantisipasi angka penyebarannya. Bahkan, kata Titi, korban terinfeksi dan meniggal dunia masih terus bertambah.
Meskipun, dalam Perppu juga menyebut jika dalam hal pemungutan suara di bulan Desember 2020 tidak dapat dilaksanakan, akan dilakukan penjadwalan kembali pelaksanaan Pilkada. Namun, ketentuan ini tidak bisa dilakukan sendiri oleh KPU tetapi harus mendapat persetujuan bersama dengan DPR dan Pemerintah.
"Ini tidak sejalan dengan prinsip kemandirian KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu. Karena situasi penundaan pilkada itu disebabkan oleh alasan keamanan, bencana, dan gangguan keamanan," katanya.
Karena itu, semestinya KPU cukup berkoordinasi dengan lembaga-lembaga negara yang bertanggung jawab untuk urusan tersebut yakni Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) dan Kementrian Kesehatan.
"Jadi, pengaturan bahwa KPU mesti mendapatkan persetujuan bersama dengan DPR dan Pemerintah untuk menunda dan melanjutkan tahapan pilkada, adalah pengaturan yang tidak relevan, serta berpotensi mendistorsi kemandirian KPU," katanya.
Selain itu, Perludem juga memberi catatan bahwa Perpu Pilkada ini masih menggunakan pendekatan tata kelola teknis pilkada dalam situasi normal. Ini karena, Perppu yang memuat tiga pasal itu sama sekali tidak memberi ruang bagi penyesuaian pelaksanaan tahapan pilkada sejalan masa penanganan pandemi Covid 19.
Padahla KPU sudah pernah menyampaikan penyesuaian-penyesuaian implementasi teknis tahapan pilkada yang perlu dilakukan, misalnya verifikasi faktual calon perseorangan berdasar sampel dan dilakukan secara virtual, coklit secara daring, serta pembatasan peserta kampanye untuk jaga jarak.
Ia juga menilai, Perppu pilkada yang diteken Presiden Joko Widodo luput mengatur anggaran pelaksanaan pilkada. Sebab, kondisi perekonomian yang tidak normal sebagai akibat pandemi Covid 19, pasti akan berpengaruh dalam anggaran Pilkada.
Karena itu, perlu penegasan dan pengaturan mekanisme pengelolaan dana untuk biaya pilkada yang sudah dianggarkan sebelumnya, untuk kondisi normal tanpa ada pandemi Covid 19.
"Selain itu, satu hal yang sangat penting juga, jika nanti anggaran pilkada yang sudah disiapkan sebelumnya mengalami kekurangan, Perpu ini diharapkan mampu menjawab sumber uang dari mana untuk menutupi kekurangan tersebut. Tetapi, hal itu justru luput dari pengaturan di dalam Perppu," katanya.