KB Alami, Alternatif Pengaturan Kehamilan Semasa Pandemi
Wanita hamil lebih rentan terhadap Covid19 dibandingkan dengan virus yang lain
Oleh Dr. Prita Kusumaningsih, SpOG (praktisi kesehatan dan relawan Bulan Sabit Merah Indonesia)
REPUBLIKA.CO.ID, Setidaknya ada dua media daring yang menuliskan dampak pandemi Covid19 terhadap terjadinya kehamilan yang tak diharapkan.
Republika Online 29 April menayangkan berita tentang perkiraan dari UNFPA (United Nation Population Fund) , bahwa akan terjadi 7 juta kehamilan tidak diinginkan apabila pandemi ini berlangsung selama 6 bulan. Hal ini berdasarkan perhitungan bahwa akan ada 47 juta wanita yang kesulitan mendapatkan alat kontrasepsi modern. Sebelumnya pada 23 April laman FaktualNews mengangkat pernyataan dari plt kepala dinas kesehatan kabupaten. Situbondo bahwa angka ibu hamil bulan April 2020 meningkat 1,6% dibandingkan dengan bulan yang sama di tahun 2019.
Hal ini karena pada pada kehamilan terjadi penurunan imunitas, disamping adanya penurunan fungsi paru karena pembesaran rahim mengakibatkan pelebaran diafragma dan ekspansi paru yang terbatas. Namun kabar baiknya adalah kebanyakan wanita hamil memiliki gejala ringan atau sedang. Selain itu Covid19 belum terbukti meningkatkan angka keguguran meskipun ada dugaan meningkatkan kemungkinan persalinan prematur.
Sejauh ini tidak ditemukan virus pada air ketuban, darah tali pusat, dan Air Susu Ibu. Meskipun demikian, virus dimungkinkan untuk menginvasi plasenta mengingat pada plasenta terdapat reseptor ACE. Para ahli menyebutkan bahwa kita tetap harus waspada karena riset dampak Covid19 pada ibu hamil tersebut masih sangat bisa berubah dikarenakan masih sedikitnya jumlah sampel yang diteliti.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat seseorang banyak/sepanjang hari berada di rumah. Ada ketakutan tersendiri apabila harus bepergian ke fasilitas kesehatan kalau tidak ada keterpaksaan. Di samping memang ada himbauan untuk mengurangi kunjungan ke dokter, kecuali pada kasus emergensi saja.
Karena itu, apabila pandemi ini berlangsung sampai 6 bulan lamanya, diprediksi akan terjadi kasus-kasus akseptor KB yang drop out dan ujung-ujungnya adalah terjadinya kehamilan yang tak diinginkan dikarenakan keterbatasan akses untuk mendapatkan pelayanan kontrasepsi. Di samping itu, program #dirumahsaja serta pemberitaan media yang terkadang dirasa berlebihan ini memang membuat seseorang membatasi diri untuk kunjungan ke rumah sakit.
Sementara itu, kurang pada tempatnya apabila seorang istri dipaksa untuk mendatangi fasilitas kesehatan hanya untuk memperoleh alat kontrasepsi dengan risiko paparan terhadap virus corona. Belum lagi kalau si istri tersebut - mau tak mau - harus membawa bayi dikarenakan masih dalam usia ASI Eksklusif. Sungguh berisiko!
Karena itu harus dipikirkan beberapa alternatif. Pertama, pelayanan kontrasepsi pasca plasenta/ pasca persalinan. Yaitu pemakaian kontrasepsi langsung setelah bersalin. Ini dimungkinkan untuk jenis Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) dan kontrasepsi hormonal khusus menyusui. Yang pertama bisa langsung dilaksanakan oleh bidan/dokter terlatih sesaat setelah bayi dan plasenta lahir. Sedangkan yang hormonal berbentuk suntikan atau implan bisa dilaksanakan dalam kurun waktu 24 jam pasca persalinan. Sehingga saat pulang dari puskesmas/RS bersalin para ibu tersebut sudah dalam kondisi menggunakan kontrasepsi.
Kedua, bisa digalakkan edukasi untuk menerapkan metode kontrasepsi sederhana (KB Alami). Kenapa edukasi? Ini perlu karena selama ini pengetahuan para pasutri tentang metode sederhana ini bisa dibilang terbatas sehingga sering terjadi salah paham atau misinterpretasi. Di antaranya adalah, masih banyak di antara pasutri yang menganggap bahwa kontrasepsi sederhana sebagai “bukan KB”. Kalau pun menerapkan mereka cenderung secara asal-asalan dan tidak disiplin sehingga akhirnya terjadilah “kebobolan”.
Metode kontrasepsi sederhana yang umum digunakan oleh pasutri Indonesia adalah kondom (pria), pantang berkala (kalender), dan coitus interuptus (‘Azl). Ciri khas dari metode ini adalah harus ada kedisiplinan, kerjasama yang baik antara suami dan istri, serta yang tak kalah penting adalah pemahaman yang baik terhadap siklus haid. Dengan adanya ketiga unsur tersebut, tidak sedikit pasangan yang menerapkan kontrasepsi sederhana berhasil mengatur jarak kehamilan secara ideal.
Harus diakui bahwa para petugas kesehatan memang selama ini lebih fokus memromosikan alat kontrasepsi modern yang lebih efektif. Metode efektif tersebut notabene berupa sebuah alat/tindakan yang untuk menggunakannya harus dengan bantuan dokter/bidan. Setelahnya juga masih harus kontrol secara berkala. Selain itu tidak jarang timbul efek samping yang memerlukan pemeriksaan khusus.
Memang benar bahwa secara statistik angka kegagalan dari kontrasepsi sederhana masih lebih tinggi dibandingkan dengan metode efektif. Misalnya pemakaian kondom memiliki angka kegagalan 2-18% (FIGO). Bandingkan dengan AKDR yang hanya 0,6-0,8% . Namun penulis percaya dengan edukasi yang baik maka pasutri terutama golongan menengah dan berisiko rendah akan bisa menerapkannya. Edukasi bisa berupa telemedicine sehingga akseptor tetap bisa di rumah.
Harapan penulis dengan peningkatan edukasi yang baik tentang kontrasepsi alami maka jumlah kehamilan tak diharapkan akibat pandemi akan menurun. Nantinya setelah perginya virus Corona para ibu dapat dengan mudah kembali kea lat kontrasepsi efektif. Di lain pihak mengingat risiko-risiko Covid19 pada ibu hamil, memang sebaiknya rencana untuk hamil ditunda dulu di masa pandemi ini.