Covid-19, Jokowi, dan Masyarakat Sipil
Saat ini masyarakat sipil semakin menjauh dari pemerintahan.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Barid Hardiyanto, Kandidat Doktor Administrasi Publik UGM
Penanganan pandemi Covid-19 adalah ujian bagi Jokowi dalam konteks hubungan pemerintah dan masyarakat sipil. Sampai saat ini, kalangan masyarakat sipil masih terus mempertanyakan model penanganan pemerintah terhadap pandemi ini. Hal ini memperlihatkan hubungan antara Jokowi dan masyarakat sipil semakin merenggang setelah sebelumnya Jokowi mendapatkan perlawanan publik saat revisi UU KPK, yang berlanjut semakin deras saat omnibus law.
Meski, pada sisi lain terlihat bahwa masyarakat sipil seperti sedikit mengendurkan serangannya ke Jokowi karena menganggap bahwa momentum seperti sekarang ini tidak tepat untuk melakukan serangan secara bertubi-tubi. Dalam konteks ini, bisa saja menjadi momentum bagi Jokowi untuk kembali “rujuk” dengan masyarakat sipil karena krisis ini membutuhkan gotong royong semua pihak tanpa melihat dari kalangan mana dia berasal.
Pasang Surut Hubungan Jokowi dan Masyarakat Sipil
Kelahiran Jokowi sebagai presiden tidak terlepas dari peran masyarakat sipil. Masyarakat sipil melihat bahwa mantan wali kota Solo yang menggebrak dengan model pendekatan baru melalui kerangka dialogis dengan pedagang kaki lima (PKL) saat melakukan penataan alih-alih melakukan penggusuran boleh dikatakan sebagai pembuka kesadaran bahwa pemimpin yang baik adalah yang mendengar suara rakyat dan memperlakukan rakyatnya dengan baik.
Bersamaan dengan hal itu, dukungan semakin menguat saat Jokowi melakukan terobosan dalam memberikan layanan publik khususnya dalam soal pendidikan dan kesehatan. Hal ini semakin menarik masyarakat sipil untuk mendorong Jokowi melangkah lebih besar lagi.
“Kontroversi” mobil Esemka yang menjadi ramai diperbincangkan lewat kanal media membawa Jokowi melangkah untuk menjadi gubernur DKI Jakarta. Masa pemerintahan Jokowi yang hanya sebentar mampu menjadikan kalangan media, akademisi, dan aktivis LSM, serta politisi progresif untuk mengusung Jokowi menjadi presiden RI.
Pada masa-masa itulah terlihat sekali bagaimana kalangan masyarakat sipil memberikan ruang kepada Jokowi untuk tampil. Kalangan aktivis dan serikat tani reforma agraria dan masyarakat adat yang selama ini selalu kritis terhadap pemerintah memberikan ruang bagi Jokowi untuk “turun” ke basis-basis mereka. Begitu juga dengan kalangan buruh. Jokowi melakukan kontrak politik dengan mereka untuk menyejahterakan buruh. Di kalangan lain, banyak akademisi yang juga menulis bahwa Jokowi layak untuk memimpin negeri ini.
Tidak hanya itu, survei eksperimental yang dilakukan salah satu lembaga survei berhasil “memaksa” PDI Perjuangan untuk menjadikan Jokowi sebagai calon presiden (capres) dengan “tawaran” jika Jokowi menjadi capres, suara partai tersebut akan menjadi yang nomor satu. Hal itu pun menjadi kenyataan.
Kalangan yang selama ini lebih tidak kompromi dengan pemerintah pun “terpaksa” mengikuti arus besar tersebut dengan bersandar pada argumen, daripada memilih capres lain yang dianggap mempunyai masalah dengan HAM. Pada masa-masa akhir pencoblosan bahkan ada satu media besar yang editorialnya dengan jelas berpihak kepada Jokowi.
Hasil dari kemenangan itu adalah visi-misi presiden yang termaktub dalam nawa cita memberikan harapan besar akan perubahan revolusioner di Indonesia terkait upaya mengatasi ketimpangan sumber daya agraria (reforma agraria, masyarakat adat, dan perhutanan sosial), perubahan birokrasi dan pelayanan publik, dukungan antikorupsi, pengadilan HAM, dan lain-lain.
Nawa cita yang memberi harapan besar itu membawa juga perubahan metode masyarakat sipil saat berhubungan dengan negara. Dahulu masyarakat sipil cenderung melakukan pendekatan vis a vis. Namun, dengan adanya visi-misi yang sama tersebut, banyak aktivis, akademisi, maupun politisi progresif yang kemudian mau terlibat langsung dalam pemerintahan. Banyak dari mereka yang menjadi staf ahli/staf khusus di kementerian dan ikut terlibat di Kantor Staf Presiden (KSP) yang dahulu digawangi oleh Teten Masduki, seorang aktivis buruh dan antikorupsi.
Seiring dengan perjalanan waktu, ternyata harapan akan perubahan revolusioner tersebut tidak kunjung hadir. Target reforma agraria yang dicanangkan Jokowi sangat jauh dari harapan. Bahkan, sempat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melansir bahwa penyelesaian konflik agraria 0% dan mencatat pada masa Jokowi kriminalisasi petani justru semakin besar.
Begitu juga di kalangan buruh yang mana tidak terjadi perubahan signifikan terhadap kehidupan mereka. Bagi para penggiat HAM, aksi kamisan yang sampai sekarang masih berlangsung menjadi penanda bahwa Jokowi tidak juga mampu menyelesaikan masalah HAM yang dihadapi bangsa ini.
Hal ini membuat kecewa kalangan yang dulu mendukungnya, baik secara diam-diam maupun terbuka. Kekecewaan semakin bertambah saat Jokowi tidak memberikan respons yang signifikan terhadap revisi UU KPK yang kemudian melahirkan aksi besar #ReformasiDiKorupsi. Situasi ini terus memuncak dengan rencana keluarnya omnibus law yang dinilai masyarakat sipil akan membuat “Cilaka” rakyat Indonesia.
Aksi-aksi jalanan mulai kembali muncul dan secara simbolis masyarakat sipil menunjukkan ketidakpercayaannya kepada pemerintah dengan secara terbuka menolak kehadirannya atas undangan Kantor Staf Presiden (KSP) untuk memberi masukan soal omnibus law. Padahal, orang yang mengundang adalah orang yang dulunya merupakan salah satu yang merepresentasikan kehadiran masyarakat sipil di pemerintahan.
Kondisi ini menjadi penanda bahwa masyarakat sipil semakin menjauh dari pemerintahan. Lantas, apakah momentum pandemi Covid-19 ini bisa menyatukan kembali Jokowi dan masyarakat sipil? Bisa saja, asalkan Jokowi kembali mau mendengarkan apa yang dikatakan masyarakat sipil dan mengubah posisinya untuk tidak mengutamakan oligarki dalam pembuatan kebijakannya.
*Penulis adlah kandidat Doktor di Ilmu Administrasi Publik UGM. Penerima beasiswa LPDP. Bekerja di Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumber daya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH).