Gaza Hancur, Ekonomi Israel Terpuruk!
Serangan Israel di Gaza menyebabkan kerusakan parah pada struktur ekonomi lokal.
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Selama 40 tahun, pabrik permen dan biskuit Shomar berdiri sebagai simbol ketahanan Gaza. Pabrik ini tak hanya menyediakan pekerjaan untuk ratusan orang, tetapi juga menyuplai ribuan makanan setiap harinya. Namun kini, pabrik yang menjadi salah satu yang terbesar di Gaza hancur lebur akibat serangan bom Israel yang terus berlangsung.
Pabrik ini sebelumnya menjadi tulang punggung perekonomian lokal dan memberikan harapan bagi lebih dari 200 keluarga yang bergantung padanya. Kehancurannya memberikan pukulan berat bagi sektor manufaktur Gaza, yang sudah rapuh dan menjadi sasaran serangan sistematis sejak konflik dimulai pada 7 Oktober 2023.
Pengusaha Palestina Ahmed Shomar, pemilik pabrik tersebut, mengungkapkan kesedihannya melihat 40 tahun kerja kerasnya musnah begitu saja. "Kami memulai di sektor ini 40 tahun yang lalu di Gaza. Pabrik kami kecil dan berkembang seiring waktu," kata Shomar, seperti dikutip dari Anadolu Agency, Ahad (2/2/2025) lalu.
Pabrik yang berdiri di atas lahan seluas 3.000 meter persegi ini memiliki sembilan jalur produksi yang menghasilkan keripik, biskuit, cracker, dan produk permen lainnya. Seiring berjalannya waktu, pabrik ini menjadi tonggak penting dalam sektor industri Gaza, mendukung penghidupan ratusan orang. Shomar memperkirakan kerugian akibat kehancuran pabrik ini mencapai 15 juta dolar AS atau setara dengan Rp 235,5 miliar.
“Serangan Israel di Jalur Gaza telah menyebabkan kerusakan parah pada struktur ekonomi lokal,” ujar Ekonom Palestina, Tibaa.
Lebih dari 80 persen pabrik, toko, dan tempat kerja di Gaza telah hancur atau rusak parah. Menurut Kementerian Ekonomi Palestina, Gaza memiliki 50 ribu fasilitas industri dan komersial pada akhir 2022. Kehancuran yang terus berlanjut ini mengancam untuk menghapus mata pencaharian ekonomi yang menopang wilayah yang terkepung ini.
Meskipun gencatan senjata dan kesepakatan tukar tahanan antara Hamas dan Israel mulai berlaku pada 19 Januari 2025, krisis kemanusiaan masih berlanjut. Lebih dari 47 ribu warga Palestina tewas, 111.483 terluka, dan ribuan lainnya masih terperangkap di bawah reruntuhan sejak 7 Oktober 2023. Infrastruktur vital, termasuk rumah sakit dan sekolah, juga telah dihancurkan. Pabrik Shomar yang dulunya menjadi simbol ketahanan kini menjadi pengingat suram atas penderitaan yang dialami oleh rakyat Gaza dan ekonomi mereka.
“Sektor industri adalah salah satu mata pencaharian terakhir Gaza. Sekarang, kami bahkan tidak memilikinya lagi,” kata Shomar.
Krisis ekonomi Israel
Di sisi lain, Israel kini juga menghadapi krisis ekonomi yang semakin dalam setelah terlibat dalam konflik yang menghancurkan ini. Perang yang dimulai dengan serangan Hamas pada Oktober 2023 mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar, yang diperkirakan akan berlanjut dalam waktu lama.
Seperti yang dikutip dari Arab Center Washington DC, Ahad, ketidakstabilan politik dalam negeri, penurunan ekonomi global, inflasi tinggi, dan suku bunga yang terus naik turut memperburuk kondisi ekonomi Israel. Perang Gaza dan Lebanon menambah beban besar pada ekonomi Israel.
Sejak perang dimulai, Israel harus menanggung biaya besar, baik untuk operasional militer yang mahal maupun dampak langsung yang mengganggu aktivitas ekonomi, terutama di wilayah selatan dan utara. Kerugian ekonomi akibat perang diperkirakan mencapai sekitar 200 juta shekel atau sekitar Rp 1,1 miliar per hari. Kementerian Keuangan Israel memperkirakan bahwa hingga Mei 2024, biaya perang ini mencapai 250 miliar shekel, setara dengan Rp 950 triliun, dan jumlah tersebut bisa bertambah seiring meluasnya konflik ke Lebanon.
Selain biaya langsung perang, Israel juga menghadapi lonjakan anggaran pertahanan yang hampir dua kali lipat dari anggaran tahun sebelumnya. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Israel pada 2024 hanya 1,7 persen, jauh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yang mencapai 3 persen.
Peningkatan utang luar negeri Israel yang diperkirakan mencapai 70 persen dari GDP menambah beban fiskal yang besar. Untuk menutupi defisit, pemerintah Israel menaikkan pajak dan melakukan pemotongan anggaran, namun kebijakan ini hanya memperburuk ketegangan sosial dan ekonomi dalam negeri.
“Perang ini telah menyebabkan Israel menghadapi tantangan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan dampaknya akan terasa jauh lebih lama,” kata laporan tersebut.