Taktik Dakwah Damai Wali Songo

Wali Songo berdakwah dari kaum miskin hingga menikahi bangsawan.

Antara/Yusuf Nugroho
Taktik Dakwah Damai Wali Songo. Foto kompleks Makam Sunan Muria, salah satu Wali Songo yang merupakan penyebar agama Islam di Pulau Jawa, terlihat dari lereng Gunung Muria Kudus, Jawa Tengah.
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berkembangnya Islam di Indonesia tak lepas dari kiprah para Wali Songo. Karena itulah, di pentas sejarah, jelas jejak mereka dalam pengislaman dan syiar Islam di bumi Nusantara yang ketika itu meliputi Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, dan sebagian Thailand Selatan, sangat besar. Sukses Wali Songo dalam menyampaikan pesan-pesan Islam itu, antara lain karena metode yang mereka terapkan. Peneliti dari LPLI Sunan Ampel, Agus Sunyoto dalam bukunya Sunan Ampel: Taktik dan Strategi Dakwah Islam di Jawa Abad 14-15 menilai gerakan dakwah Wali Songopunya kaitan benang merah dengan semangat gerakan dakwah Nabi SAW.

Baca Juga


"Taktik dan strategi dakwah mereka dapat dikata sebagai manifestasi-reflektif gerakan dakwah Nabi Muhammad SAW," tulis Sunyoto. Model demikian inilah, menjadikan upaya para Wali Songo dalam mengislamisasi tanah Jawa dapat diterima banyak kalangan masyarakat saat itu di tengah berkembang pesatnya kepercayaan animisme dan dinamisme. 

Secara spesifik, dakwah yang ditempuh Wali Songo dilakukan melalui pendekatan ke berbagai lapisan masyarakat; dari kelompok bangsawan berpengaruh seperti raja, tumenggung, hingga kaum papa. Pendekatan seperti ini antara lain ditempuh dengan jalan mengikat tali kekeluargaan (perkawinan).

Apa yang dilakukan Sunan Ampel yang menikahi Nyi Ageng Manila (putri Tumenggung Wilatikta) dan Maulana Ishak dengan putri Blambangan, adalah dalam rangka dakwah lewat kekeluargaan di kalangan bangsawan. Sementara di tingkat bawah, kalangan kaum miskin, dakwah Islam terutama dilakukan oleh Syekh Siti Jenar dan Sunan Kalijaga. Di bidang pendidikan, dakwah Wali Sanga dilakukan dengan mendirikan pesantren di berbagai daerah, seperti di Ampel, Giri, Denta, Gresik, dan Cirebon, yang sekaligus menjadi pusat Islam dan basis mereka.

Oleh masyarakat, nama-nama daerah itu kemudian dipakai untuk memberi gelar Wali Songo, seperti Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati. Selain itu, para Wali Songo juga membangun masjid yang antara lain dijadikan sebagai pusat kajian berkaitan soal sosial dan keagamaan, selain sebagai tempat beribadah. 

Sementara dari sisi metodologis, Wali Songo memilih cara persuasif untuk menarik masyarakat ke dalam Islam. Mereka mengemas, menampilkan, dan mengembangkan kepribadian Islam dengan cara sangat mengesankan.

Barangkali, ini pengembangan dari seruan Alquran untuk menyeru manusia ke dalam Islam dengan perkataan yang merasuk (membekas) dalam jiwa mereka (QS. 4:65). Di perkembangannya, Wali Songo kemudian memanfaatkan kesenian, adat-istiadat ataupun tradisi yang hidup di masayarakat sebagai media dakwah. 

Itu sebabnya mereka juga dikenal sebagai pencipta karya-karya seni semisal tembang macapat. Sunan Kali Jaga mencipta dandanggula yang berarti ajakan kepada optimisme, Sunan Giri membuat sinom, yang berarti cahaya kehidupan, sementara Sunan Gunung Jati menyusun pucung atau rasa, dan Sunan Bonang menciptakan durma atau perlambangan nafsu manusia.

Penyebaran Islam juga dilakukan dengan memadukan unsur-unsur Hindu, Budha atau nilai-nilai lokal yang akrab di masyarakat. Yang menonjol adalah pengembangan pada lakon-lakon cerita wayang, seperti Sunan Kalijaga mencipta Jimat Kalimusada, yang tak lain dua kalimat syahadat. Di masa berikutnya, sejumlah seniman juga menjadikan kesenian ludruk sebagai wahana dakwah. Dalam penyampaiannya, kesenian ludruk kemudian diberi muatan pesan-pesan moral. Misalnya, mengajak masyarakat agar tidak melakukan molimo (madon, madat, main, maling, dan minum). 

 

sumber : Arsip Republika
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler