Mengenang 35 tahun Debut Michael Jordan di NBA

Jordan meraih gelar NBA Rookie of The Year 1985 mengalahkan Hakeem Olajuwon.

EPA/EDDIE CHENG
Michael Jordan.
Red: Israr Itah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada hari ini, 16 Mei 1985, Michael Jordan yang saat itu baru berusia 22 tahun terpilih sebagai NBA Rookie of The Year, setelah ia mengungguli center Houston Rockets Hakeem Olajuwon. Hasil pemungutan suara yang dilakukan 78 anggota media AS menempatkan Jordan sebagai pemenang. Jordan mengantungi 57 1/2 suara berbanding 20 1/2 suara yang didapatkan Olajuwon.

Baca Juga


"Penghargaan ini menyenangkan, namun menurut saya yang penting adalah masing-masing pemain keluar bertanding dan berkontribusi kepada tim," kata Jordan seperti dikutip Chicago Tribune.

Kalimat tersebut bahkan dicetak pada sepatu Air Jordan I Rookie of The Year yang dirilis pada Oktober 2018. Meski baru semusim membela Chicago Bulls, Jordan sudah memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia akan menjadi pemain legendaris di NBA.

Jordan memimpin perolehan poin pada musim debutnya di NBA, serta berada di peringkat ketiga rata-rata perolehan poin per pertandingan dengan catatan 28,2 poin per pertandingan. Guard setinggi 1,98 meter itu berada di peringkat keempat untuk catatan steal dengan 2,39 steal per pertandingan pada musim perdananya.

Dengan statistik seperti itu, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Jordan menjadi aktor penting yang membawa Bulls ke play-off untuk pertama kalinya dalam empat musim. Keberadaan Jordan pula yang membuat jumlah penonton yang menghadiri pertandingan kandang Bulls melonjak dua kali lipat dibanding musim sebelumnya.

Mukjizat tidak terjadi dalam semalam. Jordan memang tetap tampil menawan pada pertandingan-pertandingan putaran pertama play-off melawan Milwaukee Bucks, dengan catatan rata-rata 29,3 poin, 8,5 assist, dan enam rebound per pertandingan, namun timnya harus menelan kekalahan 1-3 dari sang lawan.

 

Selalu diandalkan

Menjadi pemain pilihan kedua pada draft 1983, Jordan kemudian selalu diandalkan Bulls pada musim debutnya. Ia tidak pernah absen selama Bulls memainkan 82 pertandingan musim reguler.

"Ini bukan untuk menjadi pertunjukan Michael Jordan. Saya hanya pemain pemula (rookie) dan tugas saya adalah menyesuaikan diri sebagai bagian dari Bulls," ucapnya saat itu.

Musim itu dibuka Bulls dengan catatan sangat positif. Mereka memenangi enam dari delapan pertandingan tandang dan memiliki rekor 6-2. Pada gim kesembilan, Jordan membukukan 45 poin dan mengukir sepuluh rebound saat menang 120-117 atas San Antonio Spurs.

Setelah itu, penampilan Bulls merosot dengan empat kekalahan beruntun sebelum sekali menang atas Seatlle Supersonics dan kembali tergelincir dengan tiga kekalahan beruntun.

Pada pertandingan-pertandingan di Los Angeles, Jordan mengejutkan publik LA, kotanya para bintang, dengan skor di menit terakhir untuk mengalahkan Clippers dan kemudian menang dua poin atas Lakers

Jordan kembali membuktikan kebintangannya dengan lemparan penentu kemenangan saat waktu tinggal menyisakan lima detik untuk mengalahkan Knicks pada pertandingan ke-21. Itu merupakan pertama kalinya Jordan membukukan poin penentu kemenangan untuk Bulls.

Penampilan apik membawa ia masuk tim All-Star mewakili Wilayah Timur. Namun ketidak sukaan sejumlah pemain senior terhadap dirinya, terutama dari pemain Detroit Pistons Isiah Thomas, membuat Jordan jarang mendapat operan bola saat laga All-Star berlangsung.

Pertandingan All-Star itu sendiri berakhir dengan kemenangan 140-129 untuk kemenangan tim Wilayah Barat.

Jordan berhasil membalas dengan apik perlakuan buruk Thomas terhadap dirinya tersebut. Pada pertandingan pertama setelah All-Star, Bulls menjamu Pistons. Hasilnya Bulls menang 139-126 atas tamunya melalui Overtime, dengan Jordan memborong 49 poin, 15 rebound, dan empat steal.

Bagaimana dengan Thomas? Ia hanya mencatatkan 19 poin meski berdalih penampilannya tidak maksimal karena cedera paha.

Sayangnya setelah pertandingan tersebut, Bulls kembali sulit mencatatkan kemenangan beruntun. Mereka hanya mencatatkan tiga dan dua kemenangan beruntun pada Maret serta dua kemenangan beruntun pada April meski tetap mampu menembus play-off.

 

Transformasi Jordan

Diangkatnya Phil Jackson menjadi pelatih pada 1989 setelah sebelumnya menjabat sebagai asisten pelatih turut membawa perubahan pada Jordan. Dalam film dokumenter The Last dance yang menjadi pembicaraan penggemar basket dunia sebulan ke belakang, ada bagian yang menceritakan transformasi Jordan menjadi pemain tim membuat Bulls semakin menggila dan akhirnya merebut gelar juara NBA pada 1991.

Jackson memberikan pengertian kepada Jordan bahwa tak selamanya ia harus menjadi eksekutor dan mesin poin timnya. Ada masa di mana ia akan dijaga ketat oleh dua hingga tiga pemain lawan, dan ketika itulah Jordan diminta memberikan kesempatan bagi rekan-rekannya untuk berkontribusi. 

Bulls tak teradang setelah Jordan bermain mengutamakan tim. Produktivitasnya tak lantas menurun drastis, dan pada saat yang sama Bulls mendapatkan kemenangan demi kemenangan. Ditambah kemampuan menjaga emosi serta menambah kekuatan otot, strategi meredam Jordan dengan berbagai cara, termasuk melakukan pelanggaran kasar seperti yang dilakukan Detroit Pistons tak lagi ampuh. Bulls dibawa juara tiga tahun berurutan sejak 1991 sampai 1993.

Sempat pensiun sebentar dari basket, Jordan kembali untuk meraih tiga gelar berikutnya pada 1996 sampai 1998. Setelah kembali gantung sepatu selama 2,5 tahun, Jordan kembali memperkuat Washington Wizards pada 2001 sampai 2003. Kali ini, usianya yang menua ditambah tim yang kurang kompetitif membuat Jordan gagal mengulangi pencapaian seperti saat membela Bulls.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler