Belanja Online Melesat, Kasus Pencurian Data Pribadi Naik
Belanja Online Melesat, Kejahatan Pencurian Data Pribadi Meningkat
Warta Ekonomi.co.id, Jakarta
Akibat penyebaran Covid-19 yang terjadi sejak Desember 2019, roda ekonomi maupun kebiasaan orang perlahan berubah. Berbagai sektor industri mengalami kemacetan. Namun, tidak dengan bisnis e-commerce.
Bahkan di Indonesia, aplikasi e-commerce merupakan yang paling banyak diunduh oleh masyarakat sebesar 48,9%. Hal ini merupakan salah satu indikasi kebiasaan masyarakat mulai berubah.
Namun, seiring dengan gencarnya belanja melalui daring, keamanan data pribadi masyarakat dipertanyakan. Pada prinsipnya konsumen memiliki berbagai opsi keamanan ketika mengakses akun mereka, dari sidik jari, PIN hingga OTP.
Baca Juga: Usai Tokopedia, Sekarang Giliran Data Bukalapak Bocor?
Namun, kasus yang baru terjadi beberapa waktu lalu tetap saja membuat masyarakat was-was. Insiden kebocoran data pada beberapa perusahaan e-commerce hanyalah satu contoh karena sesungguhnya belakangan ini kebocoran data atau security breach makin sering terjadi.
Sejak beberapa tahun terakhir, diperkirakan lebih dari ratusan juta data pribadi di seluruh dunia bocor. Tak hanya 15 juta akun pengguna salah satu e-commerce terkenal di Indonesia.
Kejadian demi kejadian itu mengungkapkan bahwa data pribadi yang tersimpan di platform digital saat ini sangat rentan, padahal kita semua sedang menuju era New Normal yang bergantung pada platform digital.
Apa yang harus dilakukan oleh industri atau perusahaan yang berkutat dengan data masyarakat agar bisa melindungi data tersebut secara optimal? Julyanto Sutandang, CEO PT Equnix Business Solutions (perusahaan lokal penyedia jasa solusi teknologi informasi berbasis Open Source), mengatakan, keamanan data nasabah adalah kebutuhan yang mutlak. Tanpanya perusahaan tidak dapat mempertahankan kepercayaannya.
Menurutnya, data nasabah adalah kekayaan perusahaan yang terbesar. Security breach atau pembobolan sistem yang berakibat kebocoran data akan membahayakan bisnis perusahaan tersebut, dan bisa memberikan dampak negatif, seperti hilangnya kepercayaan konsumen dan rusaknya reputasi perusahaan. Kondisi itu pada akhirnya akan merugikan perusahaan karena konsumen akan pindah ke kompetitor.
Baca Juga: Google dan Kemendikbud Hadiahkan Paket Data bagi 10 Ribu Pengajar
"Intinya, jika data dalam suatu sistem rusak, hilang atau dicuri, maka bencana akan menghampiri," jelasnya, Sabtu (16/5/2020).
Untuk menghindari hal tersebut, perusahaan harus menerapkan dua lapis keamanan. Pertama, memperkuat autentikasi dengan Single Sign On dan HSM atau Smartcard. Dengan proteksi yang lebih baik ini, tidak ada password akses yang dapat digunakan oleh siapa pun, kecuali sistem.
Kedua, menerapkan enkripsi data dengan autentikasi yang canggih agar data yang sedang berada dalam storage (Data-At-Rest) tidak dapat disadap (bocor) oleh yang tidak berwenang.