AS Waspadai Gerakan Rusia di Libya

Militer AS mengatakan pasukan militer Rusia mengirimkan pesawat jet MiG 29 ke Libya.

AP
Salah seorang jenderal militer Amerika Serikat (AS) mengatakan langkah Rusia membawa pesawat perang ke Libya mungkin bukan untuk menyeimbangkan perang sipil. Tapi untuk membantu Moskow mengamankan kepentingan geostrategi mereka di Afrika Utara.
Rep: Lintar Satria Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Salah seorang jenderal militer Amerika Serikat (AS) mengatakan langkah Rusia membawa pesawat perang ke Libya mungkin bukan untuk menyeimbangkan perang sipil. Tapi untuk membantu Moskow mengamankan kepentingan geostrategi mereka di Afrika Utara.


Militer AS mengatakan pasukan militer Rusia mengirimkan 14 pesawat jet MiG 29 dan Su-24 ke pangkalan militer Tentara Pembebasan Libya di Jufra. Walaupun anggota parlemen Rusia dan LNA sendiri membantah laporan tersebut.

Deputi Direktur Direktorat Komando Intelijen AS wilayah Afrika, Brigadir Jenderal Gregory Hadfield mengatakan pesawat-pesawat jet Rusia berangkat dari Rusia. Mereka terbang melalui Iran dan Suriah sebelum sampai di Libya.

Hadfield mengatakan pesawat-pesawat itu belum digunakan tapi menambah kekuatan pasukan LNA yang dipimpin Khalifa Haftar. Kelompok yang selama satu tahun terakhir ingin merebut Tripoli, lokasi Government of National Accord (GNA), pemerintah Libya yang diakui masyarakat internasional.

Sementara GNA menerima bantuan yang penting dari Turki, salah satunya pesawat tanpa awak atau drone tempur. Tapi Hadfield memperingatkan mungkin Moskow tidak membutuhkan kemenangan Haftar untuk memenuhi kepentingan mereka.

"Membantu LNA dan membantu Panglima Haftar tidak tentang meraih kemenangan dalam perang, tapi tentang membangun benteng," kata Hadfield, Sabtu (30/5).

Salah satu kekhawatiran AS bila Moskow menggunakan benteng-benteng itu sebagai lokasi tempat rudal. Terutama bila Rusia memiliki lokasi permanen di Libya.

"Lebih buruk lagi mengerahkan sistem rudal jarak jauh, hal itu akan mengubah peta permainan di Eropa, NATO dan banyak negara Barat lainnya," kata Hadfield.

Sejak diktator Muammar Gaddafi diguling pada tahun 2011 lalu Libya jatuh dalam kekacauan. Pasukan bersenjata bertempur memperebutkan kekuasaan. Masyarakat Libya khawatir konflik yang tak kunjung berakhir dipanasi oleh pihak asing.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler